PENDAHULUAN
Lupus eritematosus sistemik (LES) adalah prototipe penyakit autoimun yang ditandai oleh produksi antibodi terhadap komponen-komponen inti sel yang melibatkan berbagai organ dengan manifestasi klinis yang bervariasi dari yang ringan sampai berat. Pada keadaan awal, sering sekali sukar dikenal sebagai LES, karena manifestasinya sering tidak terjadi bersamaan.
Penyakit lupus eritematosus termasuk penyakit kolagen, penyakit kolagenosis, penyakit mesenkhim. Menurut klasifikasi oleh KLEMPERER, yang termasuk golongan tersebut selain lupus eritematosus antara lain ; skleroderma, dermatomiositis, arthritis rematika, demam rematik dan poliarthritis. Klasifikasi tersebut berdasarkan atas degenerasi fibrinoid serat-serat kolagen yang luas yang terdapat di dalam jaringan mesenkhm. Kelainan serat kolagen dan serat fibrin menimbulkan manifestasi klinis yang berlainan. Yang sama ialah, bahwa semua penyakit pada golongan ini merupakan satu kompleks respon autoimun, disini hanya akan dibahas lupus eritematosus sistemik (1).
Lupus sebernanya telah dikenal kurang dari seabad lalu. Kala itu, penyakit itu dikira gigitan anjing hutan. Dugaan itulah yang menyebabkan penyakit ini kemudian disebut lupus yang berarti anjing hutan dalam bahasa latin. Dalam perkembangan selanjutnya, lupus menyebar ke seluruh organ di dalam tubuh, maka muncullah sebutan lupus eritematosus sistemik (LES) itu (2).
Perjalanan penyakit ini dapat ringan atau berat, secara terus menerus, dengan kekambuhan yang menimbulkan kerusakan jaringan akibat proses radang yang ditimbulkannya. Sekitar 80 % kelainan melibatkan jaringan persendian, kulit dan darah ; 30-50 % menyebabkan kelainan ginjal, jantung dan sistem saraf, serta 10-20 % menyebabkan trombosis arteri dan vena yang berhubungan dengan anti-bodi anti-kardiolipin 1,2,4,5 α. Prevalensi lupus eritematosus sistemik di antara etnik adalah wanita kulit hitam 1 : 250, wanita kulit putih 1 : 4300 dan wanita cina 1 : 10001,2 α (3).
II. EPIDEMIOLOGI
Sembilan puluh persen pasien LES adalah wanita usia produktif. puncak insidensinya usia antara 15- 40, dengan perbandingan pria dan wanita 6-10:1. Namun untuk onset dapat bervariasi mulai dari bayi sampai dengan usia lanjut, dan pada kelompok usia ini perbandingan antara pria dan wanita adalah 2:1. Pada populasi secara keseluruhan LES mengenai sekitar 1: 2000 orang, dan bervariasi dipengaruhi jenis kelamin, ras, etnis, dan status sosial ekonomi. Di Amerika Serikat prevalensi LES sekitar 15-50 per 100.000 orang, dengan prevalensi tertinggi pada etnik African Americans. LES berkaitan erat dengan hubungan kekerabatan, frekuensinya lebih tinggi pada kerabat dekat pasien (seperti: kakak, adik, ibu). Penyakit ini terjadi pada kembar monozigot sekitar 25%-50% dan 5% pada kembar dizigot. Pada hubungan kekerabatan yang jauh, LES berkaitan dengan penyakit autoimmun lainnya seperti anemia hemolitik, tiroiditis, dan ITP. Namun LES dapat pula tidak terkait secara herediter.
Prevalensi LES di Indonesia belum dapat dipastikan secara tepat, karena sistem pelaporan masih berupa laporan kasus dengan jumlah penderita terbatas. Insidensi LES dalam kurun waktu tahun 1971-1975 di RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta sebesar 15 kasus per 10.000 penderita yang dirawat (Nasution & Kasjmir, 1995), kemudian meningkat menjadi 37,7 kasus per 10.000 penderita yang dirawat dalam kurun waktu 1988-1990. Insidensi LES di Yogyakarta dalam kurun waktu tahun 1983-1986 sebesar 10,1 kasus per 10.000 penderita yang dirawat. Insidensi LES di Medan dalam kurun waktu tahun 1984-1986 sebesar 1,4 kasus per 10.000 penderita yang dirawat (Albar, 1996).
Insidensi LES di Perjan RS Dr. Hasan Sadikin Bandung pada perode Juli 1999 sampai dengan Juni 2000 sebesar 32 kasus dari 292 kasus penyakit rematik (10,96%), dengan rasio wanita dibanding dengan pria 29:3 (9,7:1). Jumlah penderita LES yang berobat di poli rawat jalan ada 20 orang (62,5%), 17 wanita dan 3 pria. Jumlah penderita LES yang menjalani rawat inap ada 12 orang (37,5% penderita LES) atau 66,67% dari kasus penyakit rematik yang dirawat di Perjan RS Dr. Hasan Sadikin Bandung dan semuanya adalah wanita. Dimana dari 12 Orang yang dirawat, 10 orang karena flare up dan 2 karena infeksi (TB dan pneumonia). Dari 10 kasus flare up yang dirawat, 6 kasus nefritis lupus, 3 kasus CNS lupus, 1 kasus anemia hemolitik.
III. ETIOLOGI
Etiologi lupus secara pasti masih belum jelas. Menurut anggapan sekarang penyakit LES dapat ditimbulkan karena gangguan sistem imun pada sel B dan sel T, atau pada interaksi antara kedua sel tersebut. Hal tersebut akan menyebabkan aktivasi sel-sel B poliklonal, akibatnya terjadi pembentukan autoantibodi secara berlebihan. Autoantibodi adalah antibodi patologik yang terbentuk akibat sistem imun tubuh tidak dapat membedakan antara self dan nonself. Selain itu banyak faktor lain yang berperan terhadap timbulnya penyakit LES, antara lain faktor genetik, defisiensi komplemen, hormon, lingkungan, stress, obat-obatan dan faktor-faktor lain.
1. Predisposisi Genetik
Predisposisi genetik merupakan faktor terpenting pada terjadinya LES. Kurang lebih 75 % LES dari berbagai etnik mempunyai kelompok HLA : DR2, DR3, DR4, atau DR8. Beberapa gen pada orang Afrika – Amerika berhubungan dengan LES yaitu Fcy reseptor IIA, IIIA dan RHB yang berpredisposisi terjadinya nefritis lupus.
Beberapa peneliti menemukan adanya hubungan antara penyakit LES dengan gen Human Leukocyte Antigen (HLA) seperti DR2, DR3 dari Major Histocompatibility Complex (MHC) kelas II. Individu dengan gen HLA DR2 dan DR3 mempunyai risiko relatif menderita penyakit LES 2-3 kali lebih besar daripada yang mempunyai gen HLA DR4 dan HLA DR5. Peneliti lain menemukan bahwa penderita penyakit LES yang mempunyai epitop antigen HLA-DR2 cenderung membentuk autoantibodi anti-dsDNA, sedangkan penderita yang mempunyai epitop HLA-DR3 cenderung membentuk autoantibodi anti-Ro/SS-A dan anti-La/SS-B. Penderita penyakit LES dengan epitop-epitop HLA-DR4 dan HLA-DR5 memproduksi autoantibodi anti-Sm dan anti-RNP.
2. Defisiensi komplemen
Pada penderita penyakit LES sering ditemukan defisiensi komplemen C3 dan atau C4, yaitu pada penderita penyakit LES dengan manifestasi ginjal. Defisiensi komplemen C3 dan atau C4 jarang ditemukan pada penderita penyakit LES dengan manifestasi pada kulit dan susunan saraf pusat. Individu yang mengalami defek pada komponen-komponen komplemennya, seperti Clq, Clr, Cls mempunyai predisposisi menderita penyakit LES dan nefritis lupus. Defisiensi komplemen C3 akan menyebabkan kepekaan terhadap infeksi meningkat, keadaan ini merupakan predisposisi untuk timbulnya penyakit kompleks imun. Penyakit kompleks imun selain disebabkan karena defisiensi C3, juga dapat disebabkan karena defisiensi komplemen C2 dan C4 yang terletak pada MHC kelas II yang bertugas mengawasi interaksi sel-sel imunokompeten yaitu sel Th dan sel B. Komplemen berperan dalam sistem pertahanan tubuh, antara lain melalui proses opsonisasi, untuk memudahkan eliminasi kompleks imun oleh sel karier atau makrofag. Kompleks imun akan diikat oleh reseptor komplemen (Complement receptor = C-R) yang terdapat pada permukaan sel karier atau sel makrofag. Pada defisiensi komplemen, eliminasi kompleks imun terhambat, sehingga jumlah kompleks imun menjadi berlebihan dan berada dalam sirkulasi lebih lama.
3. Hormon
Pada individu normal, testosteron berfungsi mensupresi sistem imun sedangkan estrogen memperkuat sistem imun. Predominan lupus pada wanita dibandingkan pria memperlihatkan adanya pengaruh hormon seks dalam patogenesis lupus. Pada percobaan di tikus dengan pemberian testosteron mengurangi lupus-like syndrome dan pemberian estrogen memperberat penyakit.
4. Lingkungan
Pengaruh fisik (sinar matahari), infeksi (bakteri, virus, protozoa), dan obat-obatan dapat mencetuskan atau memperberat penyakit autoimun. Mekanismenya dapat melalui aktivasi sel B poliklonal atau dengan meningkatkan ekspresi MHC kelas I atau II.
5. Obat-obatan
Beberapa macam obat telah diketahui menyebabkan timbulnya gejala klinik yang menyerupai penyakit LES ini. Obat-obatan yang telah disepakati berhubungan erat dengan kejadian lupus ini diantaranya : Carbamazepine, Chlorpromazine, Diphenylhydantoin, Ethosuximide, Hydralazine, Isoniazid, Methyldopa, Penicillamine, Procainamide, Quinidine, dan Sulfasalazine. Obat-obat tersebut diduga dapat bereaksi dengan antigen DNA atau histon dan menyebabkan antigen-antigen tersebut menjadi lebih imunogenik.
6. Stres
Stres mempengaruhi respon imun dan sistem saraf pusat. Sistem imun seperti halnya sistem yang mempertahankan homeostasis tubuh lainnya, terintegrasi dalam proses-proses fisiologis lain dan dimodifikasi oleh otak. Faktor-faktor lain seperti usia, neoplasia, gizi dapat berpengaruh terhadap penyakit autoimun. Diduga faktor-faktor tersebut dapat menimbulkan aktivasi poliklonal sel B.
IV. PATOGENESIS
Adanya satu atau beberapa factor pemicu yang tepat pada individu yang mempunyai predisposisi genetic akan menghasilkan tenaga pendorong abnormal terhadap sel T CD4+ mengakibatkan hilangnya toleransi sel T terhadap self antigen. Sebagai akibat muncullah sel T autoreaktif yang akan menyebabkan induksi serta ekspansi sel B, baik yang memproduksi autoantibody maupun yang berupa sel memori. Wujud pemicu ini masih belum jelas. Sebagian yang diduga termasuk di dalamnya adalah hormone seks, sinar ultraviolet dan berbagai macam infeksi.
Pada LES, autoantibody yang terentuk ditujukan terhadap antigen yang terutama terletak pada nukleoplasma. Antigen sasaran ini meliputi DNA, protein histon dan nonhiston. Kebanakan diatranya dalam keadaan alamiah terdapat dalam bentuk agregat protein da atau kompleks protein RNA yang disebut partikel ribonukleoprotein (RNA). Ciri khas autoantigen ini adalah mereka tidak tissue-spesific dan merupakan komponen integral semua jenis sel.
Antibodi ini secara bersama-sama disebut ANA(anti nuclear antibody). Dengan antigennya yang spesifik, ANA membentuk kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi. Telah ditunjukkan bahwa penanganan kompleks imun pada LES terganggu. Dapat berupa gangguan klirens kompleks imun besar yang larut, gangguan pemrosesan kompleks imun dalam hati dan penurunan auptake kompleks imun pada limpa. Gangguan-gangguan ini memungkinkan terbentuknya deposit kompleks mun diluar sistem fagosit mononuclear. Kompleks imun ini akan mengendap pada berbagai macam organ dengan akibat terjadinya fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan timbulnya keluhan gejala pada organ atau tempat yang bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus, kulit dan sebagainya.
Bagian yang penting dari pathogenesis LES adalah terganggunya mekanisme regulasi yang dalam keadaan normal mencegah autoimunitas pda individu yang resisten.
V. DIAGNOSIS
Diagnosis LES dibuat dengan kombinasi data-data temuan klinis, patologi dan laboratorium, berdasarkan kriteria dari American College of Rheumatology (ACR). Kriteria ini semula disusun untuk kriteria inklusi clinical trials dan studi populasi bukan untuk diagnosis. Kriteria ini mempunyai sensitivitas 90% dan spesifisitas 99% untuk dapat membedakan dengan artritis reumatoid dan penyakit lainnya.
Kriteria Batasan
Malar rash/ Ruam pada wajah Eritema yang rata atau sedikit menimbul diatas permukaan kulit muka, menyerupai kupu-kupu, biasanya tidak mengenai plika nasolabialis
Ruam discoid Eritema yang rata atau sedikit menimbul diatas permukaan kulit muka, menyerupai kupu-kupu, biasanya tidak mengenai plika nasolabialis
Fotosensitif Ruam kulit timbul sebagai reaksi hipersensitivitas terhadap sinar matahari, diperoleh dari anamnesis atau pemeriksaan fisik.
Ulserasi oral atau nasofaring Biasanya tidak terasa nyeri, didapatkan dari pemeriksaan fisik
Artritis Artritis non erosif mengenai 2 sendi atau lebih, bengkak dan terasa nyeri atau terdapat efusi sinovial.
Pleuritis atau perikarditis a. Pleuritis-riwayat nyeri pleuritik atau pleuritic friction rub yang didengar oleh do kter pemeriksa atau bukti efusi pleura
b. Perikarditis dengan bukti rekaman EKG atau pericardial friction rub yang didengar oleh dokter pemeriksa atau bukti efusi perikard
Gangguan renal a. proteinuria menetap > 0,5 gram perhari atau positif – 3 atau
b. Cetakan seller- berupa eritrosit, hemoglobin, granular, tubular atau gabungan
Gangguan neurologi a.Kejang – tanpa disebabkan oleh obat-obatan dan gangguan metabolic misalnya uremia,ketoasidosis atau ketidak seimbangan elektrolit atau
b. Psikosis tanpa disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan metabolic misalnya uremia, ketoasidosis, atau ketidakseimbangan elektrolit.
Gangguan hematologik a. anemia hemolitik dengan retikulosis
b.leukopenia -<4000/mm pada dua kali pemeriksaan atau
c.limfopenia -< 1500/ mm pada dua kali pemeriksaan atau
d.trombositopenia -<100.000 tanpa disebabkan oleh obat-obatan
Gangguan imunologik a. anti DNA : antibodi terhadap native DNA dengan titer yang abnormal atau
b.anti Sm : terdapatnya antibodi trhadap antigen nukleat Sm atau
c. Temuan positif terhadap antibodi antifosfolipid yang didasarkan atas : 1) kadar serum anti kardiolipin abnormal baik IgG atau IgM 2) tes lupus antikoagulan positif menggunakan metode standar atau 3) hasil tes positif palsu paling tidak selama 6 bulan dan dikonfirmasi dengan test immobilisasi Treponema pallidum atau tes fluoresensi absorbs antibode treponemal.
Antibodi antinuclear positif (ANA) Titer abnormal dari antibodi antinuclear berdasarkan pemeriksaan imunofluoresensi atau pemeriksaan setingka pada setiap waktu perjalanan penyakit tanpa keterlibatan obat
Untuk mempermudah kita dalam mengingat kriteria diagnosis LES dari ACR dibuat singkatan DOPAMIN RASH yaitu: Discoid rash, Oral ulcers, Photosensitivity, Arthritis, Malar rash, Immnunologic disorder, Neurologic disorder, Renal disorder, Antinuclear antibody, Serositis, Hematologic disorder.
VI. PENGOBATAN
Nonfarmakologis
1. Edukasi
Edukasi penderita memegang peranan penting mengingat SLE merupakan penyakit yang kronis. Penderita perlu dibekali informasi yang cukup tentang berbagai macam manifestasi klinis yang dapat terjadi, tingkat keparahan penyakit yang berbeda-beda sehingga penderita dapat memahami dan mengurangi rasa cemas yang berlebihan. Pada wanita usia reproduktif sangat penting diberikan pemahaman bahwa bila akan hamil maka sebaiknya kehamilan direncanakan saat penyakit sedang remisi, sehingga dapat mengurangi kejadian flare up dan risiko kelainan pada janin maupun penderita selama hamil.
2. Dukungan sosial dan psikologis
Hal ini bisa berasal dari dokter, keluarga, teman maupun mengikut sertakan peer group atau support group sesama penderita lupus. Di Indonesia ada 2 organisasi pasien Lupus, yakni care for Lupus SD di Bandung dan Yayasan Lupus Indonesia di Jakarta. Mereka bekerjasama melaksanakan kegiatan edukasi pasien dan masyarakat mengenai lupus. Selain itu merekapun memberikan advokasi dan bantuan finansial untulk pasienyang kurang mampu dalam pengobatan.
3. Istirahat
Penderita SLE sering mengalami fatigue sehingga perlu istirahat yang cukup, selain perlu dipikirkan penyebab lain seperti hipotiroid, fibromialgia dan depresi.
4. Tabir surya
Pada penderita SLE aktifitas penyakit dapat meningkat setelah terpapar sinar matahari, sehingga dianjurkan untuk menghindari paparan sinar matahari yang berlebihan dan menggunakan tabir surya dengan SPF > 30 pada 30-60 menit sebelum terpapar, diulang tiap 4-6 jam.
5. Monitor ketat
Penderita SLE mudah mengalami infeksi sehingga perlu diwaspadai bila terdapat demam yang tidak jelas penyebabnya. Risiko infeksi juga meningkat sejalan dengan pemberian obat immunosupresi dan kortikosteroid. Risiko kejadian penyakit kejadian kardiovaskuler, osteoporosis dan keganasan juga meningkat pada penderita SLE, sehingga perlu pengendalian faktor risiko seperi merokok, obesitas, dislipidemia dan hipertensi.
Farmakologis
Terapi Imunomodulator
1. Siklofosfamid
Merupakan obat utama pada gangguan sistem organ yang berat, terutama nefropati lupus. Pengobatan dengan kortikosterod dan siklofosfamid (bolus iv 0,5-1 gram/m2) lebih efektif dibanding hanya kortikosteroid saja, dalam pencegahan sequele ginjal, mempertahankan fungsi ginjal dan menginduksi remisi ginjal. Manifestasi non renal yang efektif dengan siklofosfamid adalah sitopenia, kelainan sistem saraf pusat, perdarahan paru dan vaskulitis.
Pemberian per oral dengan dosis 1-1,5 mg/kgBB dapat ditingkatkan sampai 2,5-3 mg/kgBB dengan kondisi neutrofil > 1000/mm3 dan leukosit > 3500/mm3. Monitoring jumlah leukosit dievaluasi tiap 2 minggu dan terapi intravena dengan dosis 0,5-1 gram/m2 setiap 1-3 bulan.
Efek samping yang sering terjadi adalah mual, muntah, kadang dapat ditemukan rambut rontok namun hilang bila obat dihentikan. Leukopenia dose-dependent biasanya timbul setelah 12 hari pengobatan sehingga diperlukan penyesuaian dosis dengan leukosit. Risiko terjadi infeksi bakteri, jamur dan virus terutama Herpes zoster meningkat. Efek samping pada gonad yaitu menyebabkan kegagalan fungsi ovarium dan azospermia. Pemberian hormon Gonadotropin releasing hormone atau kontrasepsi oral belum terbukti efektif. Pada penderita SLE dengan nefropati lupus yang mengalami kehamilan obat golongan ini sebaiknya dihindarkan.
2. Mycophenolate mofetil (MMF)
MMF merupakan inhibitor reversibel inosine monophosphate dehydrogenase, yaitu suatu enzim yang penting untuk sintesis purin. MMF akan mencegah proliferasi sel B dan T serta mengurangi ekspresi molekul adhesi. MMF secara efektif mengurangi proteinuria dan memperbaiki kreatinin serum pada penderita SLE dan nefritis yang resisten terhadap siklofosfamid. Efek samping yang terjadi umumnya adalah leukopenia, nausea dan diare. Kombinasi MMF dan Prednison sama efektifnya dengan pemberian siklosfosfamid oral dan prednison yang dilanjutkan dengan azathioprine dan prednisone. MMF diberikan dengan dosis 500-1000 mg dua kali sehari sampai adanya respons terapi dan dosis obat disesuaikan dengan respons tersebut. Pada penderita SLE dengan nefropati lupus yang mengalami kehamilan obat golongan ini sebaiknya dihindarkan.
3. Azathioprine
Azathioprine adalah analog purin yang menghambat sintesis asam nukleat dan mempengaruhi fungsi imun seluler dan humoral. Pada SLE obat ini digunakan sebagai alternatif siklofosfamid untuk pengobatan lupus nefritis atau sebagai steroid sparing agent untuk manifestasi non renal seperti miositis dan sinovitis yang refrakter. Pemberian mulai dengan dosis 1,5 mg/kgBB/hari, jika perlu dapat dinaikkan dengan interval waktu 8-12 minggu menjadi 2,5-3 mg/kgBB/hari dengan syarat jumlah leukosit > 3500/mm3 dan metrofil > 1000. Jika diberikan bersamaan dengan allopurinol maka dosisnya harus dikurangi menjadi 60-75%. Efek samping yang terjadi lebih kuat dibanding siklofosfamid, yang biasanya terjadi yaitu supresi sumsum tulang dan gangguan gastrointestinal. Azathioprine juga sering dihubungkan dengan hipersensitifitas dengan manifestasi demam, ruam di kulit dan peningkatan serum transaminase. Keluhan biasanya bersifat reversibel dan menghilang setelah obat dihentikan. Oleh karena dimetabolisme di hati dan dieksresikan di ginjal maka fungsi hati dan ginjal harus diperiksa secara periodik. Obat ini merupakan pilihan imunomodulator pada penderita nefropati lupus yang hamil, diberikan dengan dosis 1-1,5 mg/kgBB/hari karena relatif aman.
4. Leflunomide (Arava)
Leflunomide merupakan suatu inhibitor de novo sintesis pyrimidin yang disetujui pada pengobatan rheumatoid arthritis. Beberapa penelitian telah melaporkan keuntungan pada pasien SLE yang pada mulanya diberikan karena ketergantungan steroid. Pemberian dimulai dengan loading dosis 100 mg/hari untuk 3 hari kemudian diikuti dengan 20 mg/hari.
5. Methotrexate
Methotrexate diberikan dengan dosis 15-20 mg peroral satu kali seminggu, dan terbukti efektif terutama untuk keluhan kulit dan sendi. Efek samping yang biasa terjadi adalah peningkatan serum transaminase, gangguan gastrointestinal, infeksi dan oral ulcer, sehingga perlu dimonitor ketat fungsi hati dan ginjal. Pada penderita SLE dengan nefropati lupus yang mengalami kehamilan obat golongan ini sebaiknya dihindarkan.
6. Siklosporin
Pemberian siklosporin dosis 2,5-5 mg/kgBB/hari pada umumnya dapat ditoleransi dan menimbulkan perbaikan yang nyata terhadap proteinuria, sitopenia, parameter imunologi (C3, C4, anti-ds DNA) dan aktifitas penyakit. Jika kreatinin meningkat lebih dari 30% atau timbul hipertensi maka dosisnya harus disesuaikan efek samping yang sering terjadi adalah hipertensi, hiperplasia gusi, hipertrikhosis, dan peningkatan kreatinin serum. Siklosporin terutama bermanfaat untuk nefritis membranosa dan untuk sindroma nefrotik yang refrakter, sehingga monitoring tekanan darah dan fungsi ginjal harus dilakukan secara rutin. Siklosporin A dapat diberikan pada penderita nefropati lupus yang hamil, diberikan dengan dosis 2 mg/kgBB/hari karena relatif aman.
Agen Biologis
1. Aktivasi sel T, interaksi sel T dan sel B, deplesi sel B
Perkembangan terapi terakhir telah memusatkan perhatian terhadap fungsi sel B dalam mengambil autoAg dan mempresentasikannya melalui immunoglobulin spesifik terhadap sel T di permukaan sel, selanjutnya mempengaruhi respons imun dependen sel T. Anti CD 20 adalah suatu antibodi monoklonal yang melawan reseptor CD 20 yang dipresentasikan limfosit B.
2. Anti CD 20
Anti CD 20 (Rituximab; Rituxan) memiliki pontensi terapi untuk SLE yang refrakter. Beberapa penelitian memberikan keberhasilan terapi pada manifestasi lupus refrakter seperti sistem saraf pusat, vaskulitis dan gangguan hematologi.
3. LJP 394
LJP 394 (Abetimus sodium; Riquent) telah didisain untuk mencegah rekurensi flare renal pada pasien nefritis dengan cara mengurangi antibody terhadap ds-DNA melalui toleransi spesifik antigen secara selektif. Substansi ini merupakan suatu senyawa sintetik yang terdiri dari rangkaian deoksiribonukleotida yang terikat pada rantai trietilen glikol.
4. Anti B lymphocyte stimulaton
Stimulator limfosit B (BlyS) merupakan bagian dari sitokin TNF (tumor necrosis factor), yang mempresentasikan sel B. LymphoStatB merupakan antibod monoklonal terhadap BlyS.
5. Sitokin inhibitor
Meskipun telah ada penelitian yang menunjukkan penurunan sekresi TNF alfa dan meliorasi leukopenia, proteinuria dan deposisi imun kompleks pada binatang percobaan, namun tidak ada studi klinis agen anti TNF yang diberikan pada penderita SLE.
6. Anti malaria
Obat anti malaria yang digunakan pada SLE adalah hidroksiklorokuin, klorokuin, dan quinakrin. Digunakan untuk keluhan konstitusional, manifestasi di kulit, musculoskeletal dan serositis. Kombinasi obat antimalaria memiliki efek sinergis dan digunakan bila penggunaan satu macam obat tidak efektif. Hidroksiklotokuin (200–400 mg/hari) dan Quinakrin (100 mg/hari) sebagai steroid sparing agent memiliki efek samping yang ringan dan reversibel, yaitu perubahan warna kulit menjadi kekuningan.
Mekanisme bagaimana hidroksiklorokuin mencegah kerusakan organ belum jelas. Hidroksiklorokuin menurunkan kadar lipid dan kemungkinan anti trombotik. Yang perlu diperhatikan adalah efek samping pada mata meskipun relatif aman bila digunakan pada dois rendah (< 6,5 mg/kgBB/hari). Namun demikian rekomendasi saat ini adalah melakukan pemeriksaan mata sebelum mulai pengobatan dan setiap 6 – 12 bulan kemudian. Antimalaria jarang sekali menyebabkan kelainan kongenital pada janin. Oleh karena itu direkomendasaikan untuk diberikan juga pada penderita nefropati lupus yang hamil dan dapat diberikan sampai masa menyusui. Kejadian IUGR juga berkurang dengan pemberian hidroksiklorokuin.
Hormon Seks
Bromokriptin yang secara selektif menghambat hipofise anterior untuk mensekresi prolaktin terbukti bermanfaat mengurangi aktifitas penyakit SLE. Dehidroepiandrosteron (DHEA) bermanfaat untuk SLE dengan aktifitas ringan sampai sedang. Danazole (sintetik steroid) dengan dosis 400-1200 mg/hari bermanfaatuntuk mengontrol sitopenia autoimun terutama trombositopeni dan anemia hemolitik. Estrogen replacement therapy (ERT) dapat dipertimbangkan pada pasien-pasien SLE yang mengalami menopause, namun masih terdapat perdebatan mengenai kemampuan kontraseptif oral atau ERT dalam menimbulkan flare SLE. Untuk itu terapi ini harus ditunda pada pasien dengan riwayat trombosis.
Kortikosteroid
Kortikosteroid efektif untuk menangani berbagai macam manifestasi klinis SLE. Sediaan topikal atau intralesi digunakan untuk lesi kulit, sediaan intra artikular digunakan untuk artritis, sedangkan sediaan oral atau parenteral untuk kelainan sistemik. Pemberian per oral dosisnya bervariasi dari 5-30 mg prednison (metilprednisolon) per hari secara tunggal atau dosis terbagi, efektif untuk mengobati keluhan konstitusional, kelainan kulit, arthritis dan serositis. Seringkali kortikosteroid diberikan bersamaan dengan antimalaria atau imunomodulator dengan tujuan untuk mendapatkan induksi yang cepat kemudian diturunkan dosisnya. Adanya keterlibatan organ penting seperti nefritis, cerebritis, kelainan hematologi atau vaskulitis sistemik, umumnya memerlukan prednison dosis tinggi (1-2 mg/kgBB/hari). Kortikosteroid parenteral juga dapat digunakan pada keadaan yang sangat berat, mengancam jiwa, dengan dosis metilprednisolon bolus 1000 mg selama 3 hari berturut-turut.
Efek yang tidak dikehendaki pada pemberian glukokortikoid lama antara lain habitus cushingoid, peningkatan berat badan, hipertensi, infeksi, fragilitas kapiler, akne, hirsutism, percepatan osteoporosis, nekrosis iskemi tulang, katarak, glaucoma, diabetes mellitus, myopati, hipokalemia, menstruasi yang tidak teratur, iritabilitas, insomnia, dan psikosa. Oleh karenanya setelah aktifitas penyakit terkontrol, dosis kortikosteroid harus segera diturunkan atau kalau mungkin dihentikan atau diberikan dalam dosis terkecil selang sehari.
Untuk meminimalisasi osteoporosis, dapat diberikan suplemen kalsium 1000 mg/ hari pada pasien dengan eksresi kalsium urin 24 jam lebih dari 120 mg. Diberikan pula vitamin D 50.000 unit 1-3 kali seminggu (monitor hiperkalsemia). Dalam mencegah osteoporosis dapat pula diberikan kalsitonin dan bifosfonat (alendronat, didronel atau actonel). Kortikosteroid pada umumnya dapat ditoleransi dengan baik selama kehamilan meskipun dapat menimbulkan eksaserbasi diabetes dan hipertensi. Tidak terdapat bukti bahwa kortikosteroid menyebabkan defek kongenital tetapi mungkin dapat menyebabkan berat badan bayi lahir rendah dan ketuban pecah dini.
NSAID (Non Steroid Anti Inflammatory Drug)
NSAID digunakan untuk mengatasi keluhan nyeri muskuloskeletal, pleuritis, perikarditis dan sakit kepala. Efek samping NSAID pada ginjal, hati, sistem saraf pusat harus dibedakan dengan aktifitas lupus yang menghebat. Adanya proteinuria yang baru timbul atau perburukan fungsi ginjal dapat disebabkan oleh aktifitas SLE atau efek NSAID. NSAID juga dapat menyebabkan meningitis aseptik, sakit kepala, psikosis dan gangguan kognitif, meningkatkan serum transaminase secara reversibel. Gangguan gastrointestinal merupakan efek samping paling sering ditimbulkan oleh inhibitor COX non-selektif. Inhibitor COX-2 selektif lebih sedikit efek sampingnya pada gastrointestinal. Pada penderita SLE dengan nefropati lupus yang mengalami kehamilan obat golongan ini sebaiknya dihindarkan karena dapat mengakibatkan kelainan kongenital dan dieksresikan dalam air susu.
Plasmaferesis
Peranan plasmaferesis pada nefropati lupus masih kontroversi. Indikasinya adalah kasus lupus disertai krioglobulinemia, sindroma hiperviskositas dan TTP (Thrombotyc Thrombocytopenic Purpura).
Immunoglobulin Intravena
Immunoglobulin intravena (IV Ig) adalah imunomodulator dengan mekanisme kerja yang luas, meliputi blokade reseptor Fc, regulasi komplemen dan sel T. Tidak seperti immunosupresan, IV Ig tidak mempunyai efek meningkatkan risiko terjadinya infeksi. Dosis 400 mg/kgBB/hari selama 5 hari berturut-turut memberikan perbaikan pada trombositopeni, artritis, nefritis, demam, manifestasi kulit dan parameter immunologis. Efek samping yang terjadi adalah demam, mialgia, sakit kepala dan artralgia, serta kadang meningitis aseptik. Kontraindikasi diberikan pada penderita SLE dengan defisiensi IgA.
Baik untuk SLE ringan atau sedang dan berat, diperlukan gabungan strategi pengobatan atau disebut pilar pengobatan. Pilar pengobatan SLE ini seyogyanya dilakukan secara bersamaan dan berkesinambungan agar tujuan pengobatan tercapai. Perlu dilakukan upaya pemantauan penyakit mulai dari dokter umum di perifer sampai ke tingkat dokter konsultan, terutama ahli reumatologi. Juga diperlukan mekanisme rujukan yang dimulai dari fasilitas kesehatan paling perifer.
Jumat, 03 Desember 2010
KARSINOMA NASOFARING
KARSINOMA NASOFARING
PENDAHULUAN
Di Indonesia, karsinoma nasofaring ( KNF ) merupakan penyakit keganasan yang paling sering ditemukan di bidang penyakit Telinga Hidung Tenggorokan. Dalam urutan 5 besar tumor ganas dengan frekuensi tertinggi, menduduki tempat ke empat setelah karsinoma mulut rahim, payudara dan kulit. Namun penanggulangannya sampai saat ini masih merupakan masalah. Yang menjadi masalah adalah keterlambatan pasien untuk datang berobat. Sebagian besar pasien datang berobat ketika sudah dalam stadium yang lanjut, dimana tumor sudah meluas ke jaringan sekitarnya. Hal ini merupakan penyulit terbesar untuk mendapatkan hasil pengobatan yang sempurna.(1,2,3)
Letak nasofaring yang tersembunyi serta gejala dini yang tidak khas, inilah yang mengakibatkan diagnosis sering terlambat yang menyebabkan tingginya angka kematian karena hampir semua penderita KNF datang pada stadium lanjut. Karsinoma nasofaring disebut juga sebagai “tumor Kanton” (Canton tumor). (1,2,3)
Seperti keganasan yang lain, penyebab penyakit ini belum dapat dipastikan, sehingga pencegahannya sulit. Yang perlu ditekankan adalah usaha ke arah diagnosis dini, yaitu dengan meningkatkan kewaspadaan para dokter serta memberikan penyuluhan kepada masyarakat mengenai penyakit ini, supaya masyarakat mengetahui tanda-tanda stadium awal penyakit dan ke mana mereka harus pergi untuk mendapatkan pertolongan yang tepat dan cepat.(1,2)
Gangguan pendengaran merupakan salah satu gejala dini dari penyakit ini, disamping gejala dini lain yang berupa hidung trsumbat atau hidung keluar darah, tetapi gejala tersebut sering tidak terpikirkan oleh dokter pemeriksa bahwa penyebabnya adalah tumor ganas di nasofaring, sehingga baru di ketahui bila penyakit sudah dalam keadaan lanjut. Gangguan pendengaran kadang-kadang disertai juga keluhan rasa penuh di telinga , telinga berdengung atau rasa nyeri di telinga.(1,2)
Banyak penulis mengatakan, bahwa lokalisasi permulaan tumbuh KNF, tersering di fosa Rosemuller, sebab daerah tersebut merupakan daerah peralihan epitel dimana epitel kuboid berubah menjadi epitel skuamosa.(1,3)
INSIDEN DAN EPIDEMIOLOGI
Karsinoma nasofaring sangat jarang ditemukan di benua Eropa, Amerika maupun Oseania, inisidennya umumnya kurang dari 1/100.000. Insiden di beberapa negara Afrika agak tinggi, sekitar 5-10/100.000 penduduk. Namun relatif sering ditemukan di berbagai negara Asia Tenggara dan China. Di RRC walaupun karsinoma nasofaring relatif sering ditemukan daripada berbagai daerah lain di dunia, tapi mortalitas rata-rata nasional hanya 1,88/100.000 pada pria 2,49/100.000 dan pada wanita 1,27/100.000.(3)
Karsinoma nasofaring dapat terjadi pada segala usia, tapi umumnya menyerang usia 30-60 tahun, menduduki 75-90%. Proporsi pria dan wanita adalah 2-3,8:1.(3)
Insiden karsinoma nasofaring menunjukkan perbedaan ras yang mencolok. Dari ketiga ras besar di dunia, sebagian ras Mongoloid merupakan kelompok insiden tinggi karsinoma nasofaring, di antaranya mencakup orang China di kawasan Selatan China dan di wilayah Asia Tenggara, orang Thailand, orang Singapura, dan orang Eskimo di Amerika Utara dengan insiden tertinggi pada orang China, disusul orang kulit hitam, paling rendah pada orang kulit putih. (1,3)
ETIOLOGI
Terjadinya karsinoma nasofaring multifaktorial, proses patogenesisnya mencakup banyak tahap. Faktor yang mungkin terkait dengan timbulnya karsinoma nasofaring adalah :
Kerentanan genetik
Walaupun karsinoma nasofaring tidak termasuk tumor genetik tapi kerentanan terhadap karsinoma nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu relatif menonjol dan memiliki fenomena agregasi familial.(3)
Ada penelitian yang menunjukkan kromosom pasien karsinoma nasofaring mengalami ketidakstabilan, hingga lebih rentan terhadap serangan berbagai faktor berbahaya dari lingkungan dan timbul berbagai penyakit. (3)
Virus Epstein Barr
Metode imunologi membuktikan bahwa virus Epstein Barr membawa antigen spesifik seperti antigen kapsid virus (VCA), antigen membrane (MA), antigen dini(EA), antigen nuklir (EBNA) dan lain-lain. Virus Epstein Barr memiliki kaitan erat dengan karsinoma nasofaring, alasannya adalah :
Di dalam serum pasien karsinoma nasofaring ditemukan antibodi terkait virus EB( termasuk VCA-IgA, EA-IgA, EBNA, dll), dengan frekuensi positif maupun rata-rata titer geometriknya jelas lebih tinggi dibandingkan orang normal dan penderita karsinoma jenis lain (termasuk karsinoma kepala leher), dan titernya berkaitan positif dengan beban tumor. (3)
Di dalam sel karsinoma nasofaring dapat dideteksi zat petanda virus EB seperti DNA virus dan EBNA. (3)
Epitel nasofaring di luar tubuh bila diinfeksi dengan galur sel mengandung virus EB, ditemukan epitel yang terinfeksi tersebut tumbuh lebih cepat, gambaran pembelahan inti juga banyak. (3)
Dilaporkan virus EB di bawah pengaruh zat karsinogen tertentu dapat menimbulkan karsinoma tak berdiferensiasi pada jaringan mukosa nasofaring fetus manusia. (3)
Oleh karena itu, dalam patogenesis karsinoma nasofaring virus EB sangat mungkin berefek karsinogenesis hanya bila terdapat prakondisi faktor genetik dan atau lingkungan tertentu. (3)
Faktor lingkungan
Menurut laporan luar negeri, orang China generasi pertama (umumnya penduduk Kanton) yang bermigrasi ke Amerika Serikat dan Kanada memiliki angka kematian akibat karsinoma nasofaring 30 kali lebih tinggi dari penduduk kulit putih setempat, sedangkan pada generasi kedua turun menjadi 15 kali, pada generasi ketiga belum ada angka pasti, tapi secara keseluruhan cenderung menurun. Pada masa yang sama, orang kulit putih yang lahir di Asia Tenggara, angka kejadian karsinoma nasofaring meningkat. Sebabnya selain pada sebagian orang terjadi perubahan hubungan darah, jelas faktor lingkungan juga berperan penting. Penelitian akhir-akhir ini menemukan zat berikut berkaitan dengan timbulnya karsinoma nasofaring. (3)
Golongan nitrosamin : zat ini dapat menimbulkan karsinoma pada hewan. Di antaranya dimetilnitrosamin dan dietilnitrosamin yang kandungannya agak tinggi pada ikan asin Guangzhou. (1,3)
Hidrokarbon aromatik : pada keluarga di area insiden tinggi karsinoma nasofaring, kandungan 3,4 benzpiren dalam tiap gram debu asap mencapai 16,83µg, jelas lebih tinggi dari keluarga di area insiden rendah. (3)
Unsur renik : nikel sulfat dapat memacu efek karsinogenesis pada proses timbulnya karsinoma nasofaring pada tikus akibat dinitrosopiperazin dosis kecil. (3)
ANATOMI
Nasofaring terletak di antara basis caranii dan palatum molle, menghubungkan rongga hidung dan orofaring. Rongga nasofaring menyerupai sebuah kubus yang tidak beraturan, diameter atas bawah dan kiri kanan masing-masing sekitar 3 cm, diameter depan belakang 2-3 cm, dapat dibagi anterior, superior, posterior, inferior dan 2 dinding lateral yang simetris bilateral. (3)
Gambar 1. Anatomi Nasofaring (dikutip dari kepustakaan 4)
Dinding supero-posterior. Dinding superior dan posterior bersambung dan miring membentuk lengkungan, di antara kedua dinding tidak terdapat batas anatomis yang jelas, maka secara klinis sering disebut sebagai dinding superior-posterior, yaitu dari batas atas lubang hidung posterior ke posterior, hingga taraf palatum molle. Lapisan submukosa area itu kaya akan jaringan limfatik membentuk tonsil faring, di masa anak hiperlasia nyata membentuk adenoid. Dinding posterior setinggi vertebra servikal 1,2, kedua sisinya adalah batas posterior resesus faringeus. (3)
Dinding lateral mencakup (1) pars anterior tuba timpanofaringeus; (2) area tuba timpanofaringeus, terdapat ostium faringeus tuba timpanofaringeus (membentuk segitiga, sekitar 1 cm dari ujung posterior konka nasalis inferior dan torus tubarius di sebelah posterosuperiornya (terbentuk dari lipatan lempeng kartilago berbentuk segitiga) bersama jaringan ikat di bawahnya membentuk pars kartilago timpanofaringeus; (3) pars posterior tuba timpanofaringeus, yaitu resesus faringeus (disebut juga fossa Rossenmuleri), terletak di sebelah posterosuperior torus tubarius, berhubungan dengan dinding posterior atap nasofaring. Resesus ini dalamnya sekitar 1 cm, membentuk lekukan berbentuk kerucut. (3)
Dinding anterior berbatasan dengan margin superior septum nasalis dan ostium posterior nasalis di kedua sisinya, langsung berhubungan dengan kavum nasalis. (3)
Dinding dasar berbatasan dengan palatum molle dan ismus orofaring dibelakangnya.
Area nasofaring sangat kaya akan saluran limfatik, terutama drainase ke kelenjar limfe faringeal posterior paravertebral servikal (disebut juga kelenjar limfe Rouviere, sebagai kelenjar limfe terminal kelompok profunda servikal yang meliputi : (1) ratai kelenjar limfe jugularis interna ; (2) rantai kelenjar limfe nervi asesorius (terletak dalam segitiga posterior leher); (3) rantai kelenjar limfe arteri dan vena transversalis koli(di fossa supraklavikular). (3)
Nasofaring diperdarahi oleh pembuluh darah yang berasal dari percabangan level I atau level II arteri karotis eksterna, masing-masing adalah : arteri faringeal asendens, cabang terkecil arteri karotis eksterna; (2) arteri palatin asendens, (3) arteri faringea, salah satu cabang terminal dari arteri maksilaris interna; (4) arteri pterigoideus, juga merupakan cabang akhir dari arteri maksilaris interna. (3)
Saraf sensorik yang mempersarafi nasofaring berasal dari nervi glossofaringeal dan vagus. Saraf motorik dari nervus vagus, mempersarafi sebagian otot faring dan palatum molle. (3)
PATOFISIOLOGI
Lokasi predileksi karsinoma nasofaring adalah dinding lateral nasofaring (terutama di resesus faringeus atau lebih dikenal dengan sebutan fossa Rossenmuler) dan dinding superoposterior.(1,3)
Tingkat keganasan karsinoma nasofaring tinggi, tumbuh infiltratif, dapat langsung menginfiltrasi dan berekspansi ke struktur yang berbatasan : ke atas dapat langsung merusak basis cranial, juga dapat melalui foramen sfenotik, foramen ovale, foramen spinosum, kanalis karotis internal atau sinus sphenoid dan selula etmoidal posterior dan lain-lain. Lubang saluran dan retakan alamiah menginfiltrasi intracranial, mengenai saraf cranial : ke anterior menyerang rongga nasal, sinus maksilaris, selula etmoidalis anterior, kemudian ke dalam orbita, juga dapat melalui intrakranium, fissura orbitalis superior atau kanalis pterigoideus, resesus pterigopalatina lalu ke orbita ; ke lateral tumor dapat menginfiltrasi celah parafaring, fossa infratemporal dan kelompok otot pengunyah dan lain-lain ; ke posterior menginfiltrasi jaringan lunak prevertebra servikal, vertebra servikal ; ke inferior mengenai ororfaring, bahkan laringofaring.(3)
Sel karsinoma nasofaring 95% ke atas berdiferensiasi buruk, tingkat keganasan tinggi. Perbandingan klasifikasi standar diagnosis dan terapi karsinoma nasofaring China dan klasifikasi histologik karsinoma nasofaring WHO.(3)
Standar diagnosis dan terapi Klasifikasi WHO
Karsinoma sel skuamosa diferensiasi baik Karsinoma sel skuamosa keratinisasi
Karsinoma sel skuamosa diferensiasi sedang Karsinoma non keratinisasi berdiferensiasi
Karsinoma sel skuamosa diferensiasi buruk Karsinoma tak berdiferensiasi
Karsinoma sel inti vesicular
Karsinoma tak berdiferensiasi
DIAGNOSIS
Gambaran Klinis
Gejala dan tanda yang sering ditemukan pada karsinma nasofaring adalah :
Epistaksis
Sekitar 70% pasien mengalami gejala epistaksis, diantaranya 23% pasien yang datang berobat dengan gejala awal ini. Sewaktu menghisap sekret dari rongga hidung atau nasofaring dengan kuat, bagian dorsal palatum molle bergesekan dengan permukaan tumor, sehingga pembuluh darah di permukaan tumor robek dan menimbulkan epistaksis.(1,3)
Hidung tersumbat
Hidung tersumbat disebabkan karena tumor menyumbat lubang hidung posterior. (3)
Tinitus dan pendengaran menurun
Penyebabnya adalah tumor di resesus faringeus dan dinding lateral nasofaring menginfiltrasi, menekan tuba eustachii, menyebabkan tekanan negatif di dalam cavum timpani, hingga terjadi otitis media transudatif. Menurunnya kemampuan pendengaran karena hambatan konduksi, umumnya disertai rasa penuh di telinga. (3)
Sefalgia
Kekhasannya adalah nyeri kontinu di region temporoparietal atau oksipital satu sisi. Ini sering disebabkan desakan tumor, infiltrasi saraf cranial atau os basis cranial, juga mungkin karena infeksi lokal atau iritasi pembuluh darah yang menyebabkan sefalgia reflektif. (3)
Rudapaksa nervus kranialis
Karsinoma nasofaring menginfiltrasi dan ekspansi secara langsung ke superior, dapat mendestruksi tulang basis cranii atau melalui saluran atau celah alami cranium masuk ke are petrosfenoid dari fossa media intrakranial (termasuk foramen sfenotik, apeks petrosus os temporal, foramen ovale dan area sinus spongiosus), membuat nervus cranialis III, IV, V (radiks 1,2) dan VI mengalami rudapaksa, manifestasinya berupa ptosis wajah bagian atas, paralisis otot mata (termasuk paralisis nervus abduksi), neuralgia trigeminal atau nyeri area temporal akibat iritasi menings (sindroma fissura sfenoidal), bila terdapat juga rudapaksa nervus caranialis II, disebut sindroma apeks orbita atau petrosfenoid. (1,3)
Pembesaran kelenjar limfe leher
Sekitar 40% pasien datang dengan gejala pertama pembesaran kelenjar limfe leher, pada waktu diagnosis ditegakkan, sekitar 60-80% sudah terdapat metastasis kelenjar limfe leher. Lokasi tipikal adalah kelenjar limfe kelompok profunda superior koli, tapi karena kelompok kelenjar limfe tersebut permukaannya tertutup otot sternokleidomastoideus dan benjolannya tidak nyeri maka sulit diketahui lebih awal.(3)
Gejala metastasis jauh
Lokasi metastasis paling sering yaitu tulang, paru-patu, dan hepar. Metastasis tulang yang paling sering yaitu ke pelvis, vertebra, iga dan keempat ekstremitas. Metastasis hati, paru dapat sangat tersembunyi, kadang hanya ditemukan ketika dilakukan tinda lanjut rutin dengan rontgen toraks, pemeriksaan hati dengan CT atau USG. (3)
Gambaran Radiolgi
Conventional X-Ray
Pemeriksaan radiologi konvisional foto tengkorak potongan antero- posterior dan lateral, dan posisi waters tampak jaringan lunak di daerah nasofaring. Pada foto dasar tengkorak ditemukan destruksi atau erosi tulang daerah fossa serebri media.(1)
Gambar 2 x-ray convensional nasofaring normal (dikutip dari kepustakaan 5)
Gambar 3 foto konvensional memperlihatkan karsinoma nasofaring sel skuamosa dengan tumor besar (panah) dari dinding posterior nasofaring menginfiltrasi daerah ostium sinus sphenoidalis. Sinus spenoidalis diisi sejumlah kecil barium. (dikutip dari kepustakaan 6).
CT-Scan
CT-scan merupakan modalitas yang paling umum digunakan untuk diagnosis KNF di daerah-daerah insiden tertinggi terjadinya KNF dimana akses untuk pencitraan dengan MRI terbatas. CT-scan adalah salah satu jenis pencitraan dengan menggunakan sinar x yang menghasilkan gambar penampang tubuh berupa irisan-irisan tipis. CT-scan dapat memberikan informasi tentang ukuran, bentuk, dan posisi dari sebuah tumor nasofaring dan dapat membantu menemukan pembesaran kelenjar getah bening. (7,8)
Dibandingkan dengan MRI, Computerized tomography (CT)-scan lebih unggul dalam memperlihatkan perluasan karsinoma ke daerah tulang di sekitarnya misalnya dasar terngkorak. Selain itu CT-Scan juga lebih efektif dalam menilai adanya pembesaran dan metastasis ke kelenjar limfe.(8,9)
Gambar 4. CT-Scan tanpa kontras potongan coronal memperlihatkan penebalan dinding parafaring kanan.(dikutip dari kepustakaan 9)
Karsinoma nasofaring dengan perluasan ke fossa pterigopalatin
:
Gambar 5. CT Scan potongan aksial menunjukkan tumor mengikis dan melebarkan fossa pterigopalatin kanan (panah tebal); dibandingkan dengan sisi kontralateral normal (panah tipis). (dikutip dari kepustakaan 10)
Karsinoma Nasofaring dengan perluasan ke orofaring
Gambar 6 . CT-Scan potongan aksial dengan kontras memperlihatkan perluasan ke dinding faring kanan(panah putih). (dikutip dari kepustakaan 10)
MRI
Seperti halnya CT scan, MRI memperlihatkan perluasan karsinoma ke tempat-tempat yang mengandung jaringan lunak di kepala dan leher. Tetapi, MRI menggunakan gelombang radio dan magnet yang kuat, bukan sinar X. Energi dari gelombang radio diserap dan kemudian dilepaskan dalam sebuah pola yang dibentuk oleh jenis jaringan tubuh manusia dan penyakit tertentu. Sebuah komputer kemudian menerjemahkan pola yang dibentuk sebagai gambaran jaringan tubuh. Sebuah bahan kontras disebut gadolinium sering disuntikkan ke pembuluh darah sebelum pemeriksaan untuk melihat gambaran yang lebih baik dan lebih jelas.(7,8)
MRI dan CT-scan dapat digunakan untuk menentukan invasi karsinoma ke struktur dekat nasofaring. MRI sedikit lebih baik daripada CT scan dalam menilai jaringan lunak dalam hidung dan tenggorokan, akan tetapi MRI tidak sebaik CT-Scan untuk melihat tulang-tulang di dasar tengkorak yang merupakan lokasi umum bagi tumbuhnya karsinoma nasofaring.(7,8,9)
Gambaran MRI Normal Nasofaring
Gambar 7. MRI potongan aksial kiri menunjukkan pembukaan tuba Eustachius (panah) dan meninggalkan fossa Rosenmüller (panah). (dikutip dari kepustakaan 10)
Krsinoma Nasofaring tahap awal
Gambar 8. MRI potongan aksial dengan kontras menunjukkan peningkatan tumor di fosa kanan dari Rosenmüller (panah berhadapan). (dikutip dari kepustakaan 10)
Karsinoma Nasofaring dengan perluasan parafaring
Gambar 9. MRI potongan aksial T1WI menunjukkan tumor meluas ke ruang parafaring kanan (panah). (dikutip dari kepustakaan 10)
Karsinoma nasofaring dengan penyebaran ke tuba eustachius
Gambar 10. MRI potongan aksial T1WI menunjukkan intensitas sinyal antara tumor di tuba estachius (panah putih) dan tumor menggerogoti clivus (panah hitam). (dikutip dari kepustakaan 10)
Gambaran Patologi Anatomi
Rongga nasofaring diselaputi selapis mukosa epitel tipis, terutama berupa epitel skuamosa, epitel torak bersilia selapis semu dan epitel transisional. Di dalam mukosa lamina propria sering terdapat sebukan limfosit, di submukosa terdapat kelenjar serosa dan musinosa. (3)
Karsinoma sel skuamosa merupakan 90% dari keganasan kepala dan leher termasuk karsinoma nasofaring. Karsinoma sel skuamosa timbul sebagai lesi ulseratif dengan ujung yang nekrotik, biasanya dikelilingi oleh reaksi radang. Jika tumor tetap sebagai lesi ulseratif, seringkali dikelilingi oleh daerah leukoplakia jenis pra-maligna. Pada awalnya tumor menyebar sepanjang permukaan mukosa, akhirnya meluas ke dalam jaringan lunak di bawahnya. Secara patologi tumor-tumor ini digolongkan berdasarkan gambaran histologi yang dihubungkan dengan perjalanan klinis. Secara sederhana, semua klasifikasi berkisar dari diferensiasi baik (tingkat keganasan rendah) sampai diferensiasi buruk (tingkat keganasan tinggi). Tumor-tumor yang diferensiasi kurang baik cenderung memberikan respon yang baik terhadap terapi radiasi walaupun prognosis jangka panjang lebih buruk daripada yang jenis diferensiasi baik.(3,11,12)
PENGGOLONGAN STADIUM
T1 : Tumor terbatas di rongga nasofaring
T2 : Tumor menginfiltrasi cavum nasi, orofaring atau di celah parafaring di anterior dari garis SO (garis SO adalah garis penghubung prosesus stiloideus dan margo posterior garis tengah foramen magnum os occipital; garis batas region servikal superior dan inferior adalah margo inferior kartilago krikoidea).
T3 : Tumor di celah parafaring di posterior garis SO atau mengenai basis cranii, fossa pterygopalatum atau terdapat rudapaksa tunggal nervus cranialis kelompok anterior atau posterior.
T4 : Nervus cranialis kelompok anterior dan posterior terkena serentak atau tumor mengenai sinus paranasalis, sinus spongiosus, orbita dan fossa infra temporal.
N0 : Belum teraba pembesaran kelenjar limfe
N1 : Kelenjar limfe koli superior berdiameter < 4 cm,mobile
N2 : Kelenjar limfe koli inferior membesar atau berdiameter 4-7 cm
N3 : Kelenjar limfe supraklavikular membesar atau berdiameter > 7 cm.
M0 : Tidak ada metastasis jauh
M1 : Ada metastasis jauh
Penggolongan Stadium Klinis :
Stadium I : T1N0M0
Stadium II : T2N0-1M0, T0-2N1M0
Stadium III : T3N0-2M0, T0-3N2M0
Stadium IVa : T4N0-3M0, T0-4N3M0
Stadium IVb : T apapun, N apapun, M1(3,13,14)
DIAGNOSIS BANDING
Kelainan hiperplastik nasofaring
Dalam keadaan normal korpus adenoid di atap nasofaring umumnya pada usia sebelum 30 tahun sudah megalami atrofi. Tapi pada sebagian orang dalam proses atrofi itu terjadi infeksi serius yang menimbulkan nodul-nodul gelombang asimetri di tempat itu, bila terjadi ulserasi dan perdarahan, maka perlu biopsi untuk membedakannya.(3)
TB nasofaring
Umumnya pada usia muda, dapat timbul erosi, ulserasi dangkal atau benjolan granulomatoid, eksudat permukaan banyak dan kotor, bahkan mengenai seluruh nasofaring. Khususnya perlu ditegaskan apakah terdapat TB dan karsinoma bersama-sama atau apakah terjadi reaksi tuberkuloid akibat karsinoma nasofaring.(3)
Granuloma nekrotik nasofaring
Lesi utama di cavum nasi, zona garis median palatum, terjadi nekrosis lokal, terdapat benjolan jaringan granulasi bahkan menimbulkan perforasi septum nasi dan palatum. Penyakit ini memiliki bau khas, juga terdapat panas tinggi, hasil patologi sering kali hanya terdapat reaksi radang kronis.(3)
Angiofibroma nasofaring
Sering ditemukan pada usia muda, pria jauh lebih banyak dari wanita. Dengan nasofaringoskop tampak permukaan tumor licin, warna mukosa menyerupai jaringan normal, kadang tampak vasodilatasi permukaannya, konsistensi kenyal padat. Bila secara klinis dicurigai penyakit ini, awas jangan mudah melakukan biopsi karena mudah terjadi perdarahan massif..(3)
Limfadenitis koli
Sering ditemukan umumnya di rahang bawah (timbul akibat penyakit region faring atau gigi). Tapi bila pada pasien di atas usia setengah baya terdapat limfadenopati agak keras di kelompok superior koli profunda atau untaian nervi aksesorius, harus cepat menyingkirkan kemungkinan metastasis tumor. .(3)
TB kelenjar limfe leher
Lebih banyak pada pemuda dan remaja. Konsistensi agak keras, dapat melekat dengan jaringan sekitarnya membentuk massa, kadang dapat nyeri tekan atau undulasi, pungsi aspirasi jarum menemukan materi mirip keju. .(3)
Limfoma maligna
Sering pada pemuda dan remaja, pembesaran kelenjar limfe leher dapat mengenai banyak lokasi, secara bersamaan dapat terjadi pembesaran kelenjar limfe aksilla,inguinal, mediastinum, dan lain-lain. Konsistensi tumor agak lembek, mobil. .(3)
Karsinoma lain yang metastasis ke kelenjar limfe leher
Karsinoma di telinga, hidung, faring laring dan cavum oris sering bermetastasis ke kelenjar limfe leher, lokasinya kebanyakan pada kelenjar limfe superior, media profunda koli dan untaian nervi asesorius. Bila di region supraklavikular terdapat limfadenopati metastasis, pertama harus dipikirkan karsinoma berasal dari rongga toraks, abdomen dan pelvis. .(3)
PENGOBATAN
Ada empat jenis pengobatan yang lazim dipakai dan berlaku bagi karsinoma nasofaring yaitu:
Radioterapi
Sampai saat ini radioterapi masih memegang peranan penting dalam penatalaksanaan karsinoma nasofaring. Penatalaksanaan pertama untuk karsinoma nasofaring adalah radioterapi dengan atau tanpa kemoterapi.(3,4)
Radioterapi adalah metode pengobatan penyakit-penyakit maligna dengan menggunakan sinar peng-ion, bertujuan untuk mematikan sel-sel tumor sebanyak mungkin dan memelihara jaringan sehat di sekitar tumor agar tidak menderita kerusakan terlalu berat. Karsinoma nasofaring bersifat radioresponsif sehingga radioterapi tetap merupakan terapi terpenting. (4)
a. Persiapan / perencanaan sebelum radioterapi
Sebelum diberi terapi radiasi, dibuat penentuan stadium klinik, diagnosis histopatologik, sekaligus ditentukan tujuan radiasi, kuratif atau paliatif. Penderita juga dipersiapkan secara mental dan fisik. Pada penderita, bila perlu juga keluarganya diberikan penerangan mengenai perlunya tindakan ini, tujuan pengobatan, efek samping yang mungkin timbul selama periode pengobatan. Pemeriksaan fisik dan laboratorium sebelum radiasi dimulai adalah mutlak. Penderita dengan keadaan umum yang buruk, gizi kurang atau demam tidak diperbolehkan untuk radiasi, kecuali pada keadaan yang mengancam hidup penderita, seperti obstruksi jalan makanan, perdarahan yang masif dari tumor, radiasi tetap dimulai sambil memperbaiki keadaan umum penderita. Sebagai tolak ukur, kadar Hb tidak boleh kurang dari 10 gr%, jumlah lekosit tidak boleh kurang dari 3000 per mm3 dan trombosit 100.000 per uL. (4)
b. Penentuan batas-batas lapangan radiasi
Tindakan ini merupakan salah satu langkah yang terpenting untuk menjamin berhasilnya suatu radioterapi. Lapangan penyinaran meliputi daerah tumor primer dan sekitarnya / potensi penjalaran perkontinuitatum serta kelenjar-kelenjar getah bening regional. (4)
Untuk tumor stadium I dan II, daerah-daerah dibawah ini harus disinari :
Seluruh nasofaring
Seluruh sfenoid dan basis oksiput
Sinus kavernosus
Basis kranii, minimal luasnya 7 cm2 meliputi foramen ovale, kanalis karotikus dan foramen jugularis lateral
Setengah belakang kavum nasi
Sinus etmoid posterior
1/3 posterior orbita
1/3 posterior sinus maksila
Fossa pterygoidea
Dinding lateral dan posterior faring setinggi fossa midtonsilar
Kelenjar retrofaringeal
Kelenjar servikalis bilateral termasuk jugular posterior, spinal aksesori dan
supraklavikular. (4)
Apabila ada perluasan ke kavum nasi atau orofaring ( T3 ) seluruh kavum nasi dan orofaring harus dimasukkan dalam lapangan radiasi. Apabila perluasan melalui dasar
tengkorak sudah mencapai rongga kranial, batas atas dari lapangan radiasi terletak di atas fossa pituitary. Apabila penyebaran tumor sampai pada sinus etmoid dan maksila atau orbita, seluruh sinus atau orbita harus disinari. Kelenjar limfe sub mental dan oksipital secara rutin tidak termasuk, kecuali apabila ditemukan limfadenopati servikal yang masif atau apabila ada metastase ke kelenjar sub maksila. (4)
Secara garis besar, batas-batas lapangan penyinaran adalah :
Batas atas : meliputi basis kranii, sella tursika masuk dalam lapangan radiasi.
Batas depan : terletak dibelakang bola mata dan choanae
Batas belakang : tepat dibelakang meatus akustikus eksterna, kecuali bila terdapat pembesaran kelenjar maka batas belakang harus terletak 1 cm di belakang kelenjar yang teraba.
Batas bawah : terletak pada tepi atas kartilago tiroidea, batas ini berubah bila didapatkan pembesaran kelenjar leher, yaitu 1 cm lebih rendah dari kelenjar yang teraba. Lapangan ini mendapat radiasi dari kiri dan kanan penderita. Pada penderita dengan kelenjar leher yang sangat besar sehingga metode radiasi di atas tidak dapat dilakukan, maka radiasi diberikan dengan lapangan depan dan belakang. (4)
Batas atas mencakup seluruh basis kranii. Batas bawah adalah tepi bawah klavikula, batas kiri dan kanan adalah 2/3 distal klavikula atau mengikuti besarnya kelenjar. Kelenjar supra klavikula serta leher bagian bawah mendapat radiasi dari lapangan depan, batas atas lapangan radiasi ini berimpit dengan batas bawah lapangan radiasi untuk tumor primer. (4)
Gambar 11. Batas-batas lapangan radiasi karsinoma nasofaring. (dikutip dari kepustakaan 4)
Gambar 12. Kelenjar supraclavicular serta leher bagian bawah mendapat radiasi. Radiasi diberikan dari arah anterior penderita. (dikutip dari kepustakaan 4)
Kemoterapi
Kemoterapi sebagai terapi tambahan pada karsinoma nasofaring ternyata dapat meningkatkan hasil terapi. Terutama diberikan pada stadium lanjut atau pada keadaan kambuh.(4)
Kemoterapi meliputi kemoterapi neoadjuvan, kemoterapi adjuvant dan kemoterapi konkomitan. Formula kemoterapi yang sering dipakai adalah : PF (DDP+ 5FU), karboplatin + 5FU, paklitaksel + DDP, paklitaksel + DDP +5FU dan DDP+ gemsitabin, dan lain-lain.(3)
DDP : 80-100 mg/m2 IV drip hari pertama (mulai sehari sebelum kemoterapi dilakukan hidrasi 3 hari).
5FU : 800-1000 mg/m2/d IV drip, hari pertama sampai hari kelima lakukan infus kontinu intravena.(3)
Ulangi setiap 21 hari atau :
Karboplatin : 300mg/m2 atau AUC = 6 IV drip, hari pertama
5FU : 800-1000 mg/m2/d IV drip, hari pertama sampai hari kelima infus intravena kontinu.
Ulangi setiap 21 hari(3)
Operasi
Dalam kondisi berikut ini dapat dipertimbangkan tindakan operasi :
Residif lokal nasofaring pasca radioterapi, lesi relatif terlokalisasi
3 bulan pasca radioterapi kuratif terdapat residif lesi primer nasofaring
Pasca radioterapi kuratif terdapat residif atau rekurensi kelenjar limfe leher.
Karsinoma nasofaring dengan diferensiasi agak tinggi seperti karsinoma sel skuamosa grade I,II, adenokarsinoma dan lain-lain.
Komplikasi radiasi (parasinusitis radiasi,ulkus radiasi, dll).(3)
Tindakan operasi pada penderita karsinoma nasofaring berupa diseksi leher radikal dan nasofaringektomi. Diseksi leher dilakukan jika masih ada sisa kelenjar pasca radiasi atau adanya kekambuhan kelenjar dengan syarat bahwa tumor primer sudah dinyatakan bersih yang dibuktikan dengan pemeriksaan radiologik dan serologi. Nasofaringektomi merupakan suatu operasi paliatif yang dilakukan pada kasus-kasus yang kambuh atau adanya residu pada nasofaring yang tidak berhasil diterapi dengan cara lain.(4)
Imunoterapi
Dengan diketahuinya kemungkinan penyebab dari karsinoma nasofaring adalah virus Epstein-Barr, maka pada penderita karsinoma nasofaring dapat diberikan imunoterapi .(4)
PROGNOSA
Kelangsungan Hidup
Hasil pengobatan yang dinyatakan dalam angka respons terhadap penyinaran sangat tergantung pada stadium tumor. Makin lanjut stadium tumor, makin berkurang responsnya. Untuk stadium I dan II, diperoleh respons komplit 80% -100% dengan terapi radiasi. Sedangkan stadium III dan IV, ditemukan angka kegagalan respons lokal dan metastasis jauh yang tinggi, yaitu 50% - 80%. Angka ketahanan hidup penderita karsinoma nasofaring tergantung beberapa faktor, diantaranya yang terpenting adalah stadium penyakit. Qin dkk, melaporkan angka harapan hidup rata-rata 5 tahun dari 1379 penderita yang diberikan terapi radiasi adalah 86%, 59%, 49% dan 29% pada stadium I, II, III dan IV. (3)
Semakin cepat dilakukan terapi, maka angka harapan hidup pasien akan semakin meningkat. Karena gejala yang tidak khas pada stadium awal, pasien lebih banyak yang datang pada stadium lanjut sehingga pengobatan juga lebih kompleks.(11)
Kelangsungan Organ
Pada tumor-tumor nasofaring yang terapinya berhasil dengan terapi radiasi dan tidak timbul kekambuhan, maka nasofaring masih dapat dipertahankan. Akan tetapi pada tumor yang yang residif dan rekuren atau tumor-tumor dengan indikasi operasi, maka nasofarng tidak dapat dipertahankan karena operasi yang dilakukan adalah nasofaringektomi.(15)
PENDAHULUAN
Di Indonesia, karsinoma nasofaring ( KNF ) merupakan penyakit keganasan yang paling sering ditemukan di bidang penyakit Telinga Hidung Tenggorokan. Dalam urutan 5 besar tumor ganas dengan frekuensi tertinggi, menduduki tempat ke empat setelah karsinoma mulut rahim, payudara dan kulit. Namun penanggulangannya sampai saat ini masih merupakan masalah. Yang menjadi masalah adalah keterlambatan pasien untuk datang berobat. Sebagian besar pasien datang berobat ketika sudah dalam stadium yang lanjut, dimana tumor sudah meluas ke jaringan sekitarnya. Hal ini merupakan penyulit terbesar untuk mendapatkan hasil pengobatan yang sempurna.(1,2,3)
Letak nasofaring yang tersembunyi serta gejala dini yang tidak khas, inilah yang mengakibatkan diagnosis sering terlambat yang menyebabkan tingginya angka kematian karena hampir semua penderita KNF datang pada stadium lanjut. Karsinoma nasofaring disebut juga sebagai “tumor Kanton” (Canton tumor). (1,2,3)
Seperti keganasan yang lain, penyebab penyakit ini belum dapat dipastikan, sehingga pencegahannya sulit. Yang perlu ditekankan adalah usaha ke arah diagnosis dini, yaitu dengan meningkatkan kewaspadaan para dokter serta memberikan penyuluhan kepada masyarakat mengenai penyakit ini, supaya masyarakat mengetahui tanda-tanda stadium awal penyakit dan ke mana mereka harus pergi untuk mendapatkan pertolongan yang tepat dan cepat.(1,2)
Gangguan pendengaran merupakan salah satu gejala dini dari penyakit ini, disamping gejala dini lain yang berupa hidung trsumbat atau hidung keluar darah, tetapi gejala tersebut sering tidak terpikirkan oleh dokter pemeriksa bahwa penyebabnya adalah tumor ganas di nasofaring, sehingga baru di ketahui bila penyakit sudah dalam keadaan lanjut. Gangguan pendengaran kadang-kadang disertai juga keluhan rasa penuh di telinga , telinga berdengung atau rasa nyeri di telinga.(1,2)
Banyak penulis mengatakan, bahwa lokalisasi permulaan tumbuh KNF, tersering di fosa Rosemuller, sebab daerah tersebut merupakan daerah peralihan epitel dimana epitel kuboid berubah menjadi epitel skuamosa.(1,3)
INSIDEN DAN EPIDEMIOLOGI
Karsinoma nasofaring sangat jarang ditemukan di benua Eropa, Amerika maupun Oseania, inisidennya umumnya kurang dari 1/100.000. Insiden di beberapa negara Afrika agak tinggi, sekitar 5-10/100.000 penduduk. Namun relatif sering ditemukan di berbagai negara Asia Tenggara dan China. Di RRC walaupun karsinoma nasofaring relatif sering ditemukan daripada berbagai daerah lain di dunia, tapi mortalitas rata-rata nasional hanya 1,88/100.000 pada pria 2,49/100.000 dan pada wanita 1,27/100.000.(3)
Karsinoma nasofaring dapat terjadi pada segala usia, tapi umumnya menyerang usia 30-60 tahun, menduduki 75-90%. Proporsi pria dan wanita adalah 2-3,8:1.(3)
Insiden karsinoma nasofaring menunjukkan perbedaan ras yang mencolok. Dari ketiga ras besar di dunia, sebagian ras Mongoloid merupakan kelompok insiden tinggi karsinoma nasofaring, di antaranya mencakup orang China di kawasan Selatan China dan di wilayah Asia Tenggara, orang Thailand, orang Singapura, dan orang Eskimo di Amerika Utara dengan insiden tertinggi pada orang China, disusul orang kulit hitam, paling rendah pada orang kulit putih. (1,3)
ETIOLOGI
Terjadinya karsinoma nasofaring multifaktorial, proses patogenesisnya mencakup banyak tahap. Faktor yang mungkin terkait dengan timbulnya karsinoma nasofaring adalah :
Kerentanan genetik
Walaupun karsinoma nasofaring tidak termasuk tumor genetik tapi kerentanan terhadap karsinoma nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu relatif menonjol dan memiliki fenomena agregasi familial.(3)
Ada penelitian yang menunjukkan kromosom pasien karsinoma nasofaring mengalami ketidakstabilan, hingga lebih rentan terhadap serangan berbagai faktor berbahaya dari lingkungan dan timbul berbagai penyakit. (3)
Virus Epstein Barr
Metode imunologi membuktikan bahwa virus Epstein Barr membawa antigen spesifik seperti antigen kapsid virus (VCA), antigen membrane (MA), antigen dini(EA), antigen nuklir (EBNA) dan lain-lain. Virus Epstein Barr memiliki kaitan erat dengan karsinoma nasofaring, alasannya adalah :
Di dalam serum pasien karsinoma nasofaring ditemukan antibodi terkait virus EB( termasuk VCA-IgA, EA-IgA, EBNA, dll), dengan frekuensi positif maupun rata-rata titer geometriknya jelas lebih tinggi dibandingkan orang normal dan penderita karsinoma jenis lain (termasuk karsinoma kepala leher), dan titernya berkaitan positif dengan beban tumor. (3)
Di dalam sel karsinoma nasofaring dapat dideteksi zat petanda virus EB seperti DNA virus dan EBNA. (3)
Epitel nasofaring di luar tubuh bila diinfeksi dengan galur sel mengandung virus EB, ditemukan epitel yang terinfeksi tersebut tumbuh lebih cepat, gambaran pembelahan inti juga banyak. (3)
Dilaporkan virus EB di bawah pengaruh zat karsinogen tertentu dapat menimbulkan karsinoma tak berdiferensiasi pada jaringan mukosa nasofaring fetus manusia. (3)
Oleh karena itu, dalam patogenesis karsinoma nasofaring virus EB sangat mungkin berefek karsinogenesis hanya bila terdapat prakondisi faktor genetik dan atau lingkungan tertentu. (3)
Faktor lingkungan
Menurut laporan luar negeri, orang China generasi pertama (umumnya penduduk Kanton) yang bermigrasi ke Amerika Serikat dan Kanada memiliki angka kematian akibat karsinoma nasofaring 30 kali lebih tinggi dari penduduk kulit putih setempat, sedangkan pada generasi kedua turun menjadi 15 kali, pada generasi ketiga belum ada angka pasti, tapi secara keseluruhan cenderung menurun. Pada masa yang sama, orang kulit putih yang lahir di Asia Tenggara, angka kejadian karsinoma nasofaring meningkat. Sebabnya selain pada sebagian orang terjadi perubahan hubungan darah, jelas faktor lingkungan juga berperan penting. Penelitian akhir-akhir ini menemukan zat berikut berkaitan dengan timbulnya karsinoma nasofaring. (3)
Golongan nitrosamin : zat ini dapat menimbulkan karsinoma pada hewan. Di antaranya dimetilnitrosamin dan dietilnitrosamin yang kandungannya agak tinggi pada ikan asin Guangzhou. (1,3)
Hidrokarbon aromatik : pada keluarga di area insiden tinggi karsinoma nasofaring, kandungan 3,4 benzpiren dalam tiap gram debu asap mencapai 16,83µg, jelas lebih tinggi dari keluarga di area insiden rendah. (3)
Unsur renik : nikel sulfat dapat memacu efek karsinogenesis pada proses timbulnya karsinoma nasofaring pada tikus akibat dinitrosopiperazin dosis kecil. (3)
ANATOMI
Nasofaring terletak di antara basis caranii dan palatum molle, menghubungkan rongga hidung dan orofaring. Rongga nasofaring menyerupai sebuah kubus yang tidak beraturan, diameter atas bawah dan kiri kanan masing-masing sekitar 3 cm, diameter depan belakang 2-3 cm, dapat dibagi anterior, superior, posterior, inferior dan 2 dinding lateral yang simetris bilateral. (3)
Gambar 1. Anatomi Nasofaring (dikutip dari kepustakaan 4)
Dinding supero-posterior. Dinding superior dan posterior bersambung dan miring membentuk lengkungan, di antara kedua dinding tidak terdapat batas anatomis yang jelas, maka secara klinis sering disebut sebagai dinding superior-posterior, yaitu dari batas atas lubang hidung posterior ke posterior, hingga taraf palatum molle. Lapisan submukosa area itu kaya akan jaringan limfatik membentuk tonsil faring, di masa anak hiperlasia nyata membentuk adenoid. Dinding posterior setinggi vertebra servikal 1,2, kedua sisinya adalah batas posterior resesus faringeus. (3)
Dinding lateral mencakup (1) pars anterior tuba timpanofaringeus; (2) area tuba timpanofaringeus, terdapat ostium faringeus tuba timpanofaringeus (membentuk segitiga, sekitar 1 cm dari ujung posterior konka nasalis inferior dan torus tubarius di sebelah posterosuperiornya (terbentuk dari lipatan lempeng kartilago berbentuk segitiga) bersama jaringan ikat di bawahnya membentuk pars kartilago timpanofaringeus; (3) pars posterior tuba timpanofaringeus, yaitu resesus faringeus (disebut juga fossa Rossenmuleri), terletak di sebelah posterosuperior torus tubarius, berhubungan dengan dinding posterior atap nasofaring. Resesus ini dalamnya sekitar 1 cm, membentuk lekukan berbentuk kerucut. (3)
Dinding anterior berbatasan dengan margin superior septum nasalis dan ostium posterior nasalis di kedua sisinya, langsung berhubungan dengan kavum nasalis. (3)
Dinding dasar berbatasan dengan palatum molle dan ismus orofaring dibelakangnya.
Area nasofaring sangat kaya akan saluran limfatik, terutama drainase ke kelenjar limfe faringeal posterior paravertebral servikal (disebut juga kelenjar limfe Rouviere, sebagai kelenjar limfe terminal kelompok profunda servikal yang meliputi : (1) ratai kelenjar limfe jugularis interna ; (2) rantai kelenjar limfe nervi asesorius (terletak dalam segitiga posterior leher); (3) rantai kelenjar limfe arteri dan vena transversalis koli(di fossa supraklavikular). (3)
Nasofaring diperdarahi oleh pembuluh darah yang berasal dari percabangan level I atau level II arteri karotis eksterna, masing-masing adalah : arteri faringeal asendens, cabang terkecil arteri karotis eksterna; (2) arteri palatin asendens, (3) arteri faringea, salah satu cabang terminal dari arteri maksilaris interna; (4) arteri pterigoideus, juga merupakan cabang akhir dari arteri maksilaris interna. (3)
Saraf sensorik yang mempersarafi nasofaring berasal dari nervi glossofaringeal dan vagus. Saraf motorik dari nervus vagus, mempersarafi sebagian otot faring dan palatum molle. (3)
PATOFISIOLOGI
Lokasi predileksi karsinoma nasofaring adalah dinding lateral nasofaring (terutama di resesus faringeus atau lebih dikenal dengan sebutan fossa Rossenmuler) dan dinding superoposterior.(1,3)
Tingkat keganasan karsinoma nasofaring tinggi, tumbuh infiltratif, dapat langsung menginfiltrasi dan berekspansi ke struktur yang berbatasan : ke atas dapat langsung merusak basis cranial, juga dapat melalui foramen sfenotik, foramen ovale, foramen spinosum, kanalis karotis internal atau sinus sphenoid dan selula etmoidal posterior dan lain-lain. Lubang saluran dan retakan alamiah menginfiltrasi intracranial, mengenai saraf cranial : ke anterior menyerang rongga nasal, sinus maksilaris, selula etmoidalis anterior, kemudian ke dalam orbita, juga dapat melalui intrakranium, fissura orbitalis superior atau kanalis pterigoideus, resesus pterigopalatina lalu ke orbita ; ke lateral tumor dapat menginfiltrasi celah parafaring, fossa infratemporal dan kelompok otot pengunyah dan lain-lain ; ke posterior menginfiltrasi jaringan lunak prevertebra servikal, vertebra servikal ; ke inferior mengenai ororfaring, bahkan laringofaring.(3)
Sel karsinoma nasofaring 95% ke atas berdiferensiasi buruk, tingkat keganasan tinggi. Perbandingan klasifikasi standar diagnosis dan terapi karsinoma nasofaring China dan klasifikasi histologik karsinoma nasofaring WHO.(3)
Standar diagnosis dan terapi Klasifikasi WHO
Karsinoma sel skuamosa diferensiasi baik Karsinoma sel skuamosa keratinisasi
Karsinoma sel skuamosa diferensiasi sedang Karsinoma non keratinisasi berdiferensiasi
Karsinoma sel skuamosa diferensiasi buruk Karsinoma tak berdiferensiasi
Karsinoma sel inti vesicular
Karsinoma tak berdiferensiasi
DIAGNOSIS
Gambaran Klinis
Gejala dan tanda yang sering ditemukan pada karsinma nasofaring adalah :
Epistaksis
Sekitar 70% pasien mengalami gejala epistaksis, diantaranya 23% pasien yang datang berobat dengan gejala awal ini. Sewaktu menghisap sekret dari rongga hidung atau nasofaring dengan kuat, bagian dorsal palatum molle bergesekan dengan permukaan tumor, sehingga pembuluh darah di permukaan tumor robek dan menimbulkan epistaksis.(1,3)
Hidung tersumbat
Hidung tersumbat disebabkan karena tumor menyumbat lubang hidung posterior. (3)
Tinitus dan pendengaran menurun
Penyebabnya adalah tumor di resesus faringeus dan dinding lateral nasofaring menginfiltrasi, menekan tuba eustachii, menyebabkan tekanan negatif di dalam cavum timpani, hingga terjadi otitis media transudatif. Menurunnya kemampuan pendengaran karena hambatan konduksi, umumnya disertai rasa penuh di telinga. (3)
Sefalgia
Kekhasannya adalah nyeri kontinu di region temporoparietal atau oksipital satu sisi. Ini sering disebabkan desakan tumor, infiltrasi saraf cranial atau os basis cranial, juga mungkin karena infeksi lokal atau iritasi pembuluh darah yang menyebabkan sefalgia reflektif. (3)
Rudapaksa nervus kranialis
Karsinoma nasofaring menginfiltrasi dan ekspansi secara langsung ke superior, dapat mendestruksi tulang basis cranii atau melalui saluran atau celah alami cranium masuk ke are petrosfenoid dari fossa media intrakranial (termasuk foramen sfenotik, apeks petrosus os temporal, foramen ovale dan area sinus spongiosus), membuat nervus cranialis III, IV, V (radiks 1,2) dan VI mengalami rudapaksa, manifestasinya berupa ptosis wajah bagian atas, paralisis otot mata (termasuk paralisis nervus abduksi), neuralgia trigeminal atau nyeri area temporal akibat iritasi menings (sindroma fissura sfenoidal), bila terdapat juga rudapaksa nervus caranialis II, disebut sindroma apeks orbita atau petrosfenoid. (1,3)
Pembesaran kelenjar limfe leher
Sekitar 40% pasien datang dengan gejala pertama pembesaran kelenjar limfe leher, pada waktu diagnosis ditegakkan, sekitar 60-80% sudah terdapat metastasis kelenjar limfe leher. Lokasi tipikal adalah kelenjar limfe kelompok profunda superior koli, tapi karena kelompok kelenjar limfe tersebut permukaannya tertutup otot sternokleidomastoideus dan benjolannya tidak nyeri maka sulit diketahui lebih awal.(3)
Gejala metastasis jauh
Lokasi metastasis paling sering yaitu tulang, paru-patu, dan hepar. Metastasis tulang yang paling sering yaitu ke pelvis, vertebra, iga dan keempat ekstremitas. Metastasis hati, paru dapat sangat tersembunyi, kadang hanya ditemukan ketika dilakukan tinda lanjut rutin dengan rontgen toraks, pemeriksaan hati dengan CT atau USG. (3)
Gambaran Radiolgi
Conventional X-Ray
Pemeriksaan radiologi konvisional foto tengkorak potongan antero- posterior dan lateral, dan posisi waters tampak jaringan lunak di daerah nasofaring. Pada foto dasar tengkorak ditemukan destruksi atau erosi tulang daerah fossa serebri media.(1)
Gambar 2 x-ray convensional nasofaring normal (dikutip dari kepustakaan 5)
Gambar 3 foto konvensional memperlihatkan karsinoma nasofaring sel skuamosa dengan tumor besar (panah) dari dinding posterior nasofaring menginfiltrasi daerah ostium sinus sphenoidalis. Sinus spenoidalis diisi sejumlah kecil barium. (dikutip dari kepustakaan 6).
CT-Scan
CT-scan merupakan modalitas yang paling umum digunakan untuk diagnosis KNF di daerah-daerah insiden tertinggi terjadinya KNF dimana akses untuk pencitraan dengan MRI terbatas. CT-scan adalah salah satu jenis pencitraan dengan menggunakan sinar x yang menghasilkan gambar penampang tubuh berupa irisan-irisan tipis. CT-scan dapat memberikan informasi tentang ukuran, bentuk, dan posisi dari sebuah tumor nasofaring dan dapat membantu menemukan pembesaran kelenjar getah bening. (7,8)
Dibandingkan dengan MRI, Computerized tomography (CT)-scan lebih unggul dalam memperlihatkan perluasan karsinoma ke daerah tulang di sekitarnya misalnya dasar terngkorak. Selain itu CT-Scan juga lebih efektif dalam menilai adanya pembesaran dan metastasis ke kelenjar limfe.(8,9)
Gambar 4. CT-Scan tanpa kontras potongan coronal memperlihatkan penebalan dinding parafaring kanan.(dikutip dari kepustakaan 9)
Karsinoma nasofaring dengan perluasan ke fossa pterigopalatin
:
Gambar 5. CT Scan potongan aksial menunjukkan tumor mengikis dan melebarkan fossa pterigopalatin kanan (panah tebal); dibandingkan dengan sisi kontralateral normal (panah tipis). (dikutip dari kepustakaan 10)
Karsinoma Nasofaring dengan perluasan ke orofaring
Gambar 6 . CT-Scan potongan aksial dengan kontras memperlihatkan perluasan ke dinding faring kanan(panah putih). (dikutip dari kepustakaan 10)
MRI
Seperti halnya CT scan, MRI memperlihatkan perluasan karsinoma ke tempat-tempat yang mengandung jaringan lunak di kepala dan leher. Tetapi, MRI menggunakan gelombang radio dan magnet yang kuat, bukan sinar X. Energi dari gelombang radio diserap dan kemudian dilepaskan dalam sebuah pola yang dibentuk oleh jenis jaringan tubuh manusia dan penyakit tertentu. Sebuah komputer kemudian menerjemahkan pola yang dibentuk sebagai gambaran jaringan tubuh. Sebuah bahan kontras disebut gadolinium sering disuntikkan ke pembuluh darah sebelum pemeriksaan untuk melihat gambaran yang lebih baik dan lebih jelas.(7,8)
MRI dan CT-scan dapat digunakan untuk menentukan invasi karsinoma ke struktur dekat nasofaring. MRI sedikit lebih baik daripada CT scan dalam menilai jaringan lunak dalam hidung dan tenggorokan, akan tetapi MRI tidak sebaik CT-Scan untuk melihat tulang-tulang di dasar tengkorak yang merupakan lokasi umum bagi tumbuhnya karsinoma nasofaring.(7,8,9)
Gambaran MRI Normal Nasofaring
Gambar 7. MRI potongan aksial kiri menunjukkan pembukaan tuba Eustachius (panah) dan meninggalkan fossa Rosenmüller (panah). (dikutip dari kepustakaan 10)
Krsinoma Nasofaring tahap awal
Gambar 8. MRI potongan aksial dengan kontras menunjukkan peningkatan tumor di fosa kanan dari Rosenmüller (panah berhadapan). (dikutip dari kepustakaan 10)
Karsinoma Nasofaring dengan perluasan parafaring
Gambar 9. MRI potongan aksial T1WI menunjukkan tumor meluas ke ruang parafaring kanan (panah). (dikutip dari kepustakaan 10)
Karsinoma nasofaring dengan penyebaran ke tuba eustachius
Gambar 10. MRI potongan aksial T1WI menunjukkan intensitas sinyal antara tumor di tuba estachius (panah putih) dan tumor menggerogoti clivus (panah hitam). (dikutip dari kepustakaan 10)
Gambaran Patologi Anatomi
Rongga nasofaring diselaputi selapis mukosa epitel tipis, terutama berupa epitel skuamosa, epitel torak bersilia selapis semu dan epitel transisional. Di dalam mukosa lamina propria sering terdapat sebukan limfosit, di submukosa terdapat kelenjar serosa dan musinosa. (3)
Karsinoma sel skuamosa merupakan 90% dari keganasan kepala dan leher termasuk karsinoma nasofaring. Karsinoma sel skuamosa timbul sebagai lesi ulseratif dengan ujung yang nekrotik, biasanya dikelilingi oleh reaksi radang. Jika tumor tetap sebagai lesi ulseratif, seringkali dikelilingi oleh daerah leukoplakia jenis pra-maligna. Pada awalnya tumor menyebar sepanjang permukaan mukosa, akhirnya meluas ke dalam jaringan lunak di bawahnya. Secara patologi tumor-tumor ini digolongkan berdasarkan gambaran histologi yang dihubungkan dengan perjalanan klinis. Secara sederhana, semua klasifikasi berkisar dari diferensiasi baik (tingkat keganasan rendah) sampai diferensiasi buruk (tingkat keganasan tinggi). Tumor-tumor yang diferensiasi kurang baik cenderung memberikan respon yang baik terhadap terapi radiasi walaupun prognosis jangka panjang lebih buruk daripada yang jenis diferensiasi baik.(3,11,12)
PENGGOLONGAN STADIUM
T1 : Tumor terbatas di rongga nasofaring
T2 : Tumor menginfiltrasi cavum nasi, orofaring atau di celah parafaring di anterior dari garis SO (garis SO adalah garis penghubung prosesus stiloideus dan margo posterior garis tengah foramen magnum os occipital; garis batas region servikal superior dan inferior adalah margo inferior kartilago krikoidea).
T3 : Tumor di celah parafaring di posterior garis SO atau mengenai basis cranii, fossa pterygopalatum atau terdapat rudapaksa tunggal nervus cranialis kelompok anterior atau posterior.
T4 : Nervus cranialis kelompok anterior dan posterior terkena serentak atau tumor mengenai sinus paranasalis, sinus spongiosus, orbita dan fossa infra temporal.
N0 : Belum teraba pembesaran kelenjar limfe
N1 : Kelenjar limfe koli superior berdiameter < 4 cm,mobile
N2 : Kelenjar limfe koli inferior membesar atau berdiameter 4-7 cm
N3 : Kelenjar limfe supraklavikular membesar atau berdiameter > 7 cm.
M0 : Tidak ada metastasis jauh
M1 : Ada metastasis jauh
Penggolongan Stadium Klinis :
Stadium I : T1N0M0
Stadium II : T2N0-1M0, T0-2N1M0
Stadium III : T3N0-2M0, T0-3N2M0
Stadium IVa : T4N0-3M0, T0-4N3M0
Stadium IVb : T apapun, N apapun, M1(3,13,14)
DIAGNOSIS BANDING
Kelainan hiperplastik nasofaring
Dalam keadaan normal korpus adenoid di atap nasofaring umumnya pada usia sebelum 30 tahun sudah megalami atrofi. Tapi pada sebagian orang dalam proses atrofi itu terjadi infeksi serius yang menimbulkan nodul-nodul gelombang asimetri di tempat itu, bila terjadi ulserasi dan perdarahan, maka perlu biopsi untuk membedakannya.(3)
TB nasofaring
Umumnya pada usia muda, dapat timbul erosi, ulserasi dangkal atau benjolan granulomatoid, eksudat permukaan banyak dan kotor, bahkan mengenai seluruh nasofaring. Khususnya perlu ditegaskan apakah terdapat TB dan karsinoma bersama-sama atau apakah terjadi reaksi tuberkuloid akibat karsinoma nasofaring.(3)
Granuloma nekrotik nasofaring
Lesi utama di cavum nasi, zona garis median palatum, terjadi nekrosis lokal, terdapat benjolan jaringan granulasi bahkan menimbulkan perforasi septum nasi dan palatum. Penyakit ini memiliki bau khas, juga terdapat panas tinggi, hasil patologi sering kali hanya terdapat reaksi radang kronis.(3)
Angiofibroma nasofaring
Sering ditemukan pada usia muda, pria jauh lebih banyak dari wanita. Dengan nasofaringoskop tampak permukaan tumor licin, warna mukosa menyerupai jaringan normal, kadang tampak vasodilatasi permukaannya, konsistensi kenyal padat. Bila secara klinis dicurigai penyakit ini, awas jangan mudah melakukan biopsi karena mudah terjadi perdarahan massif..(3)
Limfadenitis koli
Sering ditemukan umumnya di rahang bawah (timbul akibat penyakit region faring atau gigi). Tapi bila pada pasien di atas usia setengah baya terdapat limfadenopati agak keras di kelompok superior koli profunda atau untaian nervi aksesorius, harus cepat menyingkirkan kemungkinan metastasis tumor. .(3)
TB kelenjar limfe leher
Lebih banyak pada pemuda dan remaja. Konsistensi agak keras, dapat melekat dengan jaringan sekitarnya membentuk massa, kadang dapat nyeri tekan atau undulasi, pungsi aspirasi jarum menemukan materi mirip keju. .(3)
Limfoma maligna
Sering pada pemuda dan remaja, pembesaran kelenjar limfe leher dapat mengenai banyak lokasi, secara bersamaan dapat terjadi pembesaran kelenjar limfe aksilla,inguinal, mediastinum, dan lain-lain. Konsistensi tumor agak lembek, mobil. .(3)
Karsinoma lain yang metastasis ke kelenjar limfe leher
Karsinoma di telinga, hidung, faring laring dan cavum oris sering bermetastasis ke kelenjar limfe leher, lokasinya kebanyakan pada kelenjar limfe superior, media profunda koli dan untaian nervi asesorius. Bila di region supraklavikular terdapat limfadenopati metastasis, pertama harus dipikirkan karsinoma berasal dari rongga toraks, abdomen dan pelvis. .(3)
PENGOBATAN
Ada empat jenis pengobatan yang lazim dipakai dan berlaku bagi karsinoma nasofaring yaitu:
Radioterapi
Sampai saat ini radioterapi masih memegang peranan penting dalam penatalaksanaan karsinoma nasofaring. Penatalaksanaan pertama untuk karsinoma nasofaring adalah radioterapi dengan atau tanpa kemoterapi.(3,4)
Radioterapi adalah metode pengobatan penyakit-penyakit maligna dengan menggunakan sinar peng-ion, bertujuan untuk mematikan sel-sel tumor sebanyak mungkin dan memelihara jaringan sehat di sekitar tumor agar tidak menderita kerusakan terlalu berat. Karsinoma nasofaring bersifat radioresponsif sehingga radioterapi tetap merupakan terapi terpenting. (4)
a. Persiapan / perencanaan sebelum radioterapi
Sebelum diberi terapi radiasi, dibuat penentuan stadium klinik, diagnosis histopatologik, sekaligus ditentukan tujuan radiasi, kuratif atau paliatif. Penderita juga dipersiapkan secara mental dan fisik. Pada penderita, bila perlu juga keluarganya diberikan penerangan mengenai perlunya tindakan ini, tujuan pengobatan, efek samping yang mungkin timbul selama periode pengobatan. Pemeriksaan fisik dan laboratorium sebelum radiasi dimulai adalah mutlak. Penderita dengan keadaan umum yang buruk, gizi kurang atau demam tidak diperbolehkan untuk radiasi, kecuali pada keadaan yang mengancam hidup penderita, seperti obstruksi jalan makanan, perdarahan yang masif dari tumor, radiasi tetap dimulai sambil memperbaiki keadaan umum penderita. Sebagai tolak ukur, kadar Hb tidak boleh kurang dari 10 gr%, jumlah lekosit tidak boleh kurang dari 3000 per mm3 dan trombosit 100.000 per uL. (4)
b. Penentuan batas-batas lapangan radiasi
Tindakan ini merupakan salah satu langkah yang terpenting untuk menjamin berhasilnya suatu radioterapi. Lapangan penyinaran meliputi daerah tumor primer dan sekitarnya / potensi penjalaran perkontinuitatum serta kelenjar-kelenjar getah bening regional. (4)
Untuk tumor stadium I dan II, daerah-daerah dibawah ini harus disinari :
Seluruh nasofaring
Seluruh sfenoid dan basis oksiput
Sinus kavernosus
Basis kranii, minimal luasnya 7 cm2 meliputi foramen ovale, kanalis karotikus dan foramen jugularis lateral
Setengah belakang kavum nasi
Sinus etmoid posterior
1/3 posterior orbita
1/3 posterior sinus maksila
Fossa pterygoidea
Dinding lateral dan posterior faring setinggi fossa midtonsilar
Kelenjar retrofaringeal
Kelenjar servikalis bilateral termasuk jugular posterior, spinal aksesori dan
supraklavikular. (4)
Apabila ada perluasan ke kavum nasi atau orofaring ( T3 ) seluruh kavum nasi dan orofaring harus dimasukkan dalam lapangan radiasi. Apabila perluasan melalui dasar
tengkorak sudah mencapai rongga kranial, batas atas dari lapangan radiasi terletak di atas fossa pituitary. Apabila penyebaran tumor sampai pada sinus etmoid dan maksila atau orbita, seluruh sinus atau orbita harus disinari. Kelenjar limfe sub mental dan oksipital secara rutin tidak termasuk, kecuali apabila ditemukan limfadenopati servikal yang masif atau apabila ada metastase ke kelenjar sub maksila. (4)
Secara garis besar, batas-batas lapangan penyinaran adalah :
Batas atas : meliputi basis kranii, sella tursika masuk dalam lapangan radiasi.
Batas depan : terletak dibelakang bola mata dan choanae
Batas belakang : tepat dibelakang meatus akustikus eksterna, kecuali bila terdapat pembesaran kelenjar maka batas belakang harus terletak 1 cm di belakang kelenjar yang teraba.
Batas bawah : terletak pada tepi atas kartilago tiroidea, batas ini berubah bila didapatkan pembesaran kelenjar leher, yaitu 1 cm lebih rendah dari kelenjar yang teraba. Lapangan ini mendapat radiasi dari kiri dan kanan penderita. Pada penderita dengan kelenjar leher yang sangat besar sehingga metode radiasi di atas tidak dapat dilakukan, maka radiasi diberikan dengan lapangan depan dan belakang. (4)
Batas atas mencakup seluruh basis kranii. Batas bawah adalah tepi bawah klavikula, batas kiri dan kanan adalah 2/3 distal klavikula atau mengikuti besarnya kelenjar. Kelenjar supra klavikula serta leher bagian bawah mendapat radiasi dari lapangan depan, batas atas lapangan radiasi ini berimpit dengan batas bawah lapangan radiasi untuk tumor primer. (4)
Gambar 11. Batas-batas lapangan radiasi karsinoma nasofaring. (dikutip dari kepustakaan 4)
Gambar 12. Kelenjar supraclavicular serta leher bagian bawah mendapat radiasi. Radiasi diberikan dari arah anterior penderita. (dikutip dari kepustakaan 4)
Kemoterapi
Kemoterapi sebagai terapi tambahan pada karsinoma nasofaring ternyata dapat meningkatkan hasil terapi. Terutama diberikan pada stadium lanjut atau pada keadaan kambuh.(4)
Kemoterapi meliputi kemoterapi neoadjuvan, kemoterapi adjuvant dan kemoterapi konkomitan. Formula kemoterapi yang sering dipakai adalah : PF (DDP+ 5FU), karboplatin + 5FU, paklitaksel + DDP, paklitaksel + DDP +5FU dan DDP+ gemsitabin, dan lain-lain.(3)
DDP : 80-100 mg/m2 IV drip hari pertama (mulai sehari sebelum kemoterapi dilakukan hidrasi 3 hari).
5FU : 800-1000 mg/m2/d IV drip, hari pertama sampai hari kelima lakukan infus kontinu intravena.(3)
Ulangi setiap 21 hari atau :
Karboplatin : 300mg/m2 atau AUC = 6 IV drip, hari pertama
5FU : 800-1000 mg/m2/d IV drip, hari pertama sampai hari kelima infus intravena kontinu.
Ulangi setiap 21 hari(3)
Operasi
Dalam kondisi berikut ini dapat dipertimbangkan tindakan operasi :
Residif lokal nasofaring pasca radioterapi, lesi relatif terlokalisasi
3 bulan pasca radioterapi kuratif terdapat residif lesi primer nasofaring
Pasca radioterapi kuratif terdapat residif atau rekurensi kelenjar limfe leher.
Karsinoma nasofaring dengan diferensiasi agak tinggi seperti karsinoma sel skuamosa grade I,II, adenokarsinoma dan lain-lain.
Komplikasi radiasi (parasinusitis radiasi,ulkus radiasi, dll).(3)
Tindakan operasi pada penderita karsinoma nasofaring berupa diseksi leher radikal dan nasofaringektomi. Diseksi leher dilakukan jika masih ada sisa kelenjar pasca radiasi atau adanya kekambuhan kelenjar dengan syarat bahwa tumor primer sudah dinyatakan bersih yang dibuktikan dengan pemeriksaan radiologik dan serologi. Nasofaringektomi merupakan suatu operasi paliatif yang dilakukan pada kasus-kasus yang kambuh atau adanya residu pada nasofaring yang tidak berhasil diterapi dengan cara lain.(4)
Imunoterapi
Dengan diketahuinya kemungkinan penyebab dari karsinoma nasofaring adalah virus Epstein-Barr, maka pada penderita karsinoma nasofaring dapat diberikan imunoterapi .(4)
PROGNOSA
Kelangsungan Hidup
Hasil pengobatan yang dinyatakan dalam angka respons terhadap penyinaran sangat tergantung pada stadium tumor. Makin lanjut stadium tumor, makin berkurang responsnya. Untuk stadium I dan II, diperoleh respons komplit 80% -100% dengan terapi radiasi. Sedangkan stadium III dan IV, ditemukan angka kegagalan respons lokal dan metastasis jauh yang tinggi, yaitu 50% - 80%. Angka ketahanan hidup penderita karsinoma nasofaring tergantung beberapa faktor, diantaranya yang terpenting adalah stadium penyakit. Qin dkk, melaporkan angka harapan hidup rata-rata 5 tahun dari 1379 penderita yang diberikan terapi radiasi adalah 86%, 59%, 49% dan 29% pada stadium I, II, III dan IV. (3)
Semakin cepat dilakukan terapi, maka angka harapan hidup pasien akan semakin meningkat. Karena gejala yang tidak khas pada stadium awal, pasien lebih banyak yang datang pada stadium lanjut sehingga pengobatan juga lebih kompleks.(11)
Kelangsungan Organ
Pada tumor-tumor nasofaring yang terapinya berhasil dengan terapi radiasi dan tidak timbul kekambuhan, maka nasofaring masih dapat dipertahankan. Akan tetapi pada tumor yang yang residif dan rekuren atau tumor-tumor dengan indikasi operasi, maka nasofarng tidak dapat dipertahankan karena operasi yang dilakukan adalah nasofaringektomi.(15)
PROCALCITONIN PADA SEPSIS
PENDAHULUAN
Sepsis didefinisikan sebagai respon sistemik tubuh terhadap infeksi. Infeksi yang disebabkan mikroorganisme atau germ (umumnya bakteri) masuk dalam tubuh, dan terbatas di bagian tubuh (misal: abses gigi) atau menyebar keseluruh peredaran darah (disebut septikemia) atau “keracunan darah”. (1,2)
Semua orang dapat berisiko sepsis karena infeksi ringan (misal influenza, infeksi saluran kencing, gastroenteritis dll). Sepsis dapat terjadi pula pada orang termuda (bayi premature) atau orang tua, sistem kekebalan (system immune) lemah (compromised), pengobatan kemoterapi, steroid untuk keadaan peradangan (inflamasi), mempunyai kebiasaan peminum alkohol atau obat, mendapat pengobatan atau pemeriksaan (kateter iv, tirisan/drain luka, kateter kemih (urin), kemudahan menderita sepsis karena faktor genetik. Sepsis sering terjadi di rumah sakit sebab kemajuan teknik kedokteran berkaitan dengan pengobatan. Jumlah penderita tua atau lemah dan penderita dengan penyakit lain yang menyertai kanker dan memerlukan pengobatan. Pemakaian antibiotika yang luas, yang mengakibatkan pertumbuhan mikroorganisme yang menjadi rentan (resisten) obat.(1)
Sepsis dibedakan atas tiga bentuk yaitu:
1. Sepsis tanpa penyulit (komplikasi) yaitu sepsis akibat influenza atau infeksi virus lain, gastroenteritis biasanya penderita tidak perlu rawat inap.
2. Sepsis berat, perkiraan 750.000 perorang menderita sepsis berat di Amerika utara tiap tahun, hampir sama di Eropa. Semua memerlukan perawatan di rumah sakit. Sepsis berat bila terdapat gabungan dengan satu atau lebih organ penting (vital) misal jantung, paru, ginjal atau hati (kematian sekitar 30 sampai 35%).
3. Renjatan sepsis (Shock). Terjadi renjatan sepsis bila komplikasi dengan tekanan darah tinggi tidak tanggap terhadap pengobatan standar (pemberian cairan) dan menyebabkan masalah dari organ vitalnya. Sehingga tubuh tidak cukup menerima oksigen, penderita perlu perawatan intensif, kematian mencapai 50%.
Diagnosis infeksi bakteri pada penderita berpenyakit kritis masih sulit, karena keadaan non infeksi lain yang dapat menurunkan tanggap inflamasi (contohnya: trauma, pembedahan besar dan luka bakar). Parameter klinis dan laboratorium yang lazimnya (konvensional) untuk diagnosis infeksi kurang sensitif dan spesifik padahal diagnosis harus sejalan dengan parameter biologis. Selama beberapa tahun terakhir pada banyak literatur, beberapa petanda pemeriksaan telah diuji sebagai suatu tanda yang sesuai dengan infeksi dan sepsis, tetapi tidak satupun petunjuk (indikator) yang dapat menentukan infeksi bakteri akut atau proses inflamasi bukan karena infeksi. Indikator itu di antaranya C-reactive protein, Procalcitonin(PCT), Interleukin (IL)-6, IL-8, IL-10,dan Tumor Necrosis Factor. Di antara beberapa parameter tersebut, yang paling bermakna dalam menggambarkan perburukan penyakit, syok septic dan gagal multi organ adalah IL-6, IL-8 dan PCT. (1,2,3)
Sejak awal tahun 1990-an procalcitonin (PCT) pertama kali digambarkan sebagai tanda spesifik infeksi bakteri. Kepekatan serum procalcitonin meningkat saat inflamasi sistemik, khususnya ketika hal tersebut disebabkan oleh infeksi bakteri. Procalcitonin ialah prohormon calcitonin, kadarnya meningkat saat sepsis dan sudah dikenali sebagai petanda penyakit infeksi sebab penyakit berat. Kepekatan PCT dapat mencapai 1000 ng/ml saat sepsis berat dan syok sepsis. Namun demikian, sumber asal PCT selama sepsis belum jelas, apakah nilai kadar PCT dapat membedakan antara penyakit infeksi dan non infeksi. Pada keadaan fisiologis, kadar procalcitonin rendah bahkan tidak terdapati (dalam ng/ml), tetapi akan meningkat bila terjadi bakteremia atau fungimia yang timbul sesuai dengan berat infeksi. Tetapi pada temuan beberapa peneliti peningkatan procalcitonin terdapat juga pada keadaan bukan infeksi, selain itu juga merupakan pengukuran yang lebih sensitif dibandingkan dengan beberapa uji laboratorik lain. Misalnya laju endap darah (LED), perhitungan lekosit dan C reactive protein sebagai sarana bantu diagnosis sepsis bakteri . Pada telaah pustaka ini akan dibahas manfaat procalcitonin dan pemeriksaan untuk kepentingan diagnostik penyakit.(1,3)
SINTESIS DAN STRUKTUR BIOKIMIAWI
Procalcitonin (PCT) adalah peptide yang terdiri dari 116 asam amino protein. PCT secara enzimatis didegradasi menadi peptide berat molekul rendah dengan produk akhir terdiri dari 32 asam amino dan disebut Calcitonin. Sintesis PCT diatur oleh gen Calc-1 terletak pada kromosom 11. Pada individu sehat produksi PCT dan kemudian calcitonin terjadi dalam sel-C tiroid. Dalam kondisi inflamasi sistemik, yang memicu produksi mediator inflamasi di mana-mana termasuk PCT oleh sel nonneuroendocrine seluruh tubuh. Induksi Calc-1 transkripsi dan ekspresi mRNA calcitonin telah ditunjukkan dalam jaringan ekstra-thyroidal, termasuk hati, ginjal, pankreas, adiposa dan sel darah putih. Stimulus untuk transkripsi gen dan sekresi PCT tampaknya baik secara langsung melalui racun mikroba dan secara tidak langsung melalui mediator inflamasi, seperti IL-1, IL-6 dan TNF. Dalam keadaan normal, PCT didegradasi dan tidak ada yang dilepaskan ke dalam aliran darah, oleh karena itu, tingkat PCT yang tidak terdeteksi ( <0,05 ng / ml) pada individu sehat. Namun, peningkatan yang signifikan pada konsentrasi plasma PCT telah terdeteksi selama infeksi berat dengan manifestasi sistemik. (1,4,5,6)
Molekul PCT sangat stabil baik dalam kondisi in vivo maupun in vitro,berbeda dengan waktu paruh calcitonin yang pendek (10 menit), PCT memiliki waktu paruh yang panjang yaitu 25 - 30 jam dalam serum. Salah satu keunggulan utama dari PCT dibandingkan dengan parameter lainnya adalah meningkat pada awal infeksi dan sangat spesifik yang dapat diamati 3-6 jam setelah terkena infeksi.(5,7)
Gambar 1. Struktur PCT
Gambar 2. proses post translasi precursor calcitonin
Gambar 3. Sintesis Procalcitonin
Di bawah kondisi metabolisme yang normal, hormon aktif calcitonin diproduksi dan disekresi pada sel C glandula thyroid,proses proteolitik spesifik intrasel dari prohormon PCT. Ekspresi CT mRNA hanya terjadi di sel neuroendokrin. Hormon ini memegang peranan penting pada jalur regulasi dari calcium dan fosfat dalam proses metabolisme tulang. (4)
Gambar 4. Pengeluaran calcitonin berdasarkan regulasi endokrin
Berbeda dengan peran PCT dalam rangka endokrin, proses yang ada kemungkinan menjadi alternatif sintesis sehubungan dengan infeksi mikroba. Induktor untuk sintesis adalah sitokin inflamasi seperti IL-1β dan TNF-α tetapi juga elemen membran atau dinding sel mikroba seperti LPS atau peptidoglycanes. Jalur ini pertama kali dideskripsikan oleh Müller dkk. 2001. Setelah induksi sepsis adalah mungkin untuk mendeteksi mRNA untuk PCT di semua jaringan diselidiki. Linscheid et al. 2004 menggambarkan mekanisme jalur biokimia dan situs sintesis PCT setelah infeksi bakteri. Mereka meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi sintesis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam kasus infeksi bakteri dua mekanisme sintesis sedang bekerja. Pada awalnya sitokin-pemeluk monosit distimulasi PCT dirilis dalam jumlah yang rendah (<2h). Sintesis ini dibatasi, tetapi memainkan peran penting dalam inisiasi sintesis PCT pada jaringan penyimpanan manusia. Ledakan PCT ini dimulai di seluruh jaringan penyimpanan (> 18h). jaringan parenkim adalah tipe yang paling umum jaringan dalam organisme manusia. Hal ini menjelaskan mengapa konsentrasi ekstrim PCT dapat dihasilkan (100,000 meningkat beberapa kali lipat dalam kontras dengan konsentrasi fisiologis). Ledakan PCT berlanjut terus selama stimulus untuk sintesis ada. Dalam percobaan tambahan itu dijelaskan mengapa PCT hanya disintesis selama bakteri tapi tidak di infeksi virus. Sel diinkubasi di satu sisi dengan IL- 1 dan di sisi lain dengan IL-1 dan INF-. (4)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sel-sel diperlakukan dengan baik, sitokin tidak mensintesis PCT. Kesimpulannya adalah bahwa sel yang terinfeksi oleh virus dirilis INF-. Sitokin ini memiliki pengaruh langsung terhadap sintesis PCT. Temuan ini mengarah pada penjelasan fakta bahwa PCT merupakan alat yang sempurna untuk membedakan antara infeksi virus dan bakteri.(4)
INDUKSI PLASMA PCT
PCT diimbas (induksi) oleh endotoksin yang dihasilkan bakteri selama infeksi sistemik. Infeksi yang disebabkan protozoa, infeksi non-bakteri(virus), neoplasma dan penyakit autoimun tidak menginduksi PCT. Namun, selain infeksi bakteri, PCT juga meningkat pada karsinoma medullare tiroid, SCLC. Kadar PCT juga dapat meningkat pada gagal ginjal, trauma, interaksi farmakologik dan operasi. Kadar PCT muncul cepat dalam 2 jam setelah rangsangan, puncaknya setelah 12 sampai 48 jam dan secara perlahan menurun dalam 48 sampai 72 jam, sedangkan CRP tidak terdapat dalam 6 jam. Seperti halnya CRP, IL-6 juga tidak dapat membedakan secara jelas sumber inflamasi. Pada keadaan inflamasi akibat bakteri kadar PCT selalu > 2 ng/ml. Pada kasus akibat infeksi virus kadar PCT > 0,05 ng/ml tetapi biasanya < 1 ng/ml.(1,7)
Pada percobaan orang sehat, yang diberi dosis rendah secara intravenus endotoksin Escherichia coli, setelah 1 jam injeksi ia merasa sakit. Kemudian dalam 1 sampai 2 jam demam dan berkembang menggigil, kaku dan mialgia dalam waktu 1 sampai 3 jam. PCT tidak dapat ditemukan dalam plasma pada 2 jam pertama, tetapi secara tetap tertemukan setelah 4 jam, meningkat tajam pada 6 jam dan tetap tinggi selama 8 sampai 24 jam. Kadar plasma TNF-α meningkat secara tajam setelah 1 jam, puncaknya setelah 2 jam dan menurun ke garis dasar sesudah 6 jam. Kadar plasma IL-6 mencapai puncak pada 3 jam dan kembali ke garis dasar setelah 8 jam. Peningkatan plasma PCT terjadi secara singkat sesudah kadar sitokin mencapai puncak. Penelitian lain pada pemberian rhTNF-α dan melphalan melalui isolasi perfusi tungkai menunjukkan hasil yang hampir sama, tetapi melphalan menunjukkan perubahan kecil. (1,8)
Lebih lanjut, kadar IL-6 dan IL-8 meningkat sesudah perfusi rhTNF-α dan mencapai puncak beberapa jam sesudah PCT. Dapat disimpulkan bahwa peningkatan kadar serum PCT secara langsung atau tidak langsung dibantu oleh sitokin rhTNF-α dan rhIL-6. C-reactive protein dan Serum Amiloid A Protein (SAA) tanggap terhadap rangsangan yang sama walaupun lebih lambat.(1,8)
Gambar 5. Waktu dan kepekatan PCT, CRP dan sitokin setelah trauma bedah.
FUNGSI
Pola produksi procalcitonin tampak mirip dengan beberapa komponen tangga sitokin, dan petanda aktivasi imunitas seluler yang menunjukkan bahwa ini merupakan pereaksi fase akut. Kadar procalcitonin dalam serum yang ditemukan sangat berhubungan dengan keparahan infeksi bakteri dan SIRS. Infeksi yang terjadi terbatas di organ tunggal tanpa ada tanggapan reaksi inflamasi sistemik, kadar procalcitonin rendah atau sedang. Tampaknya proses inflammasi selain infeksi mendukung sekresi procalcitonin, tetapi menempati tangga sitokin yang terjadi pada sepsis dan proses inflamasi lain yang tidak diketahui.(2)
IV.1 Procalcitonin penanda sepsis
PCT menghambat prostaglandin dan sintesis tromboksan pada limfosit in vitro dan mengurangi hubungan stimulasi LPS terhadap produksi TNF pada kultur whole blood. Menurut Whicher et al pemberian rekombinan human PCT terhadap sepsis pada tupai menghasilkan peningkatan mortalitas yang berbanding terbalik dengan pemberian netralisasi antibodi. Kemungkinan PCT peran dalam fisiologi sepsis yang didukung oleh untaian (sequensing homolog) antara PCT dan sitokin seperti TNF, IL-6 dan granulocyte colony-stimulating factor. PCT merupakan petanda diagnostik infeksi bakteri. (9,10, 11)
Gambar 6. Peningkatkan PCT mencerminkan perkembangan lanjut dari suatu kondisi yang sehat kepada kondisi-kondisi yang paling parah (sepsis berat dan syok septik)5
PCT tingkat rendah biasanya disebabkan infeksi virus, gangguan peradangan kronis atau proses autoimun. tingkat PCT pada sepsis pada umumnya lebih besar dari 1-2 ng / mL dan sering mencapai nilai antara 10 dan 100 ng / mL, atau jauh lebih tinggi dalam kasus-kasus individu, sehingga memungkinkan diferensiasi diagnostik antara berbagai kondisi klinis dan infeksi bakteri berat.(5, 10, 11)
Kadar PCT dapat menurun bila ada tanggapan terapi antibiotika. Mengikuti kerja terdahulu kelompok Assicot, data lain yang dipublikasikan mendukung catatan bahwa kadar serum PCT secara dramatis memuncak di penderita yang terinfeksi bakteri dan malaria, sedangkan pada sepsis akibat jamur hasilnya kurang meyakinkan. Namun demikian, ada juga laporan lain yang menyatakan sedikit atau tidak adanya peningkatan PCT pada penderita dengan penyebaran sepsis akibat jamur. Berbeda dengan infeksi bakteri dan parasit, peningkatan PCT yang ringan terlihat pada infeksi virus. Kadar serum PCT dapat dikatakan sebagai suatu tanda untuk membedakan antara sepsis virus dan sepsis bakteri, khususnya di penderita dengan meningitis. Didasari data yang telah dipublikasikan, terbukti bahwa baik infeksi bakteri maupun virus disertai dengan SIRS berkaitan dengan kadar PCT yang tinggi dibandingkan dengan infeksi virus dan infeksi bakteri yang bersifat lokal. Namun demikian, penderita yang mengalami infeksi lokal tanpa tanggap sistemik tidak menampakkan kadar serum PCT yang tinggi. Sebagai pembanding, penderita yang tidak mengalami perkembangan tanda Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) seperti penderita lanjut usia atau penderita malgizi (malnustrisi) kemungkinan tidak menurunkan tanggap PCT yang bermakna, meskipun hal ini belum diuji. Ada juga data yang menunjukkan pada pengamatan bahwa puncak PCT lebih tinggi di meningitis bakteri positif Gram dari pada negatif Gram. Procalcitonin dibandingkan dengan petanda inflamasi lain Pada beberapa kajian dinyatakan bahwa PCT lebih sensitif dan spesifik untuk diagnosis infeksi dibandingkan dengan C reactive protein, IL-6 dan IL-8 pada berbagai situasi klinis.O’Connor et al meneliti penderita dewasa yang dirawat di unit perawatan intensif dengan suatu prediksi lama perawatan lebih 24 jam dan dibagi menurut diagnosisnya: tanpa infeksi (SIRS dan infeksi), SIRS dan tanpa infeksi, sepsis, sepsis berat, dan syok sepsis. Pada penghalangan (cut off) 1,0 ng/ml, kadar PCT secara bermakna meningkat di penderita dengan sepsis, sepsis berat dan syok sepsis dibandingkan dengan penderita tanpa SIRS atau infeksi. PCT merupakan variabel uji laboratorium yang paling tepat betul untuk diagnosis infeksi dengan sensitifitas 89%, spesifisitas 94%, nilai peramalan negatif 90% dan nilai peramalan positif 94%. Penurunan yang lambat atau tidak adanya penurunan kadar PCT selama 48 jam sesudah rawat inap berkaitan dengan hasil pemeriksaan yang buruk. Pada kasus dengan kematian, kadar serum PCT tidak pernah < 1,1 ng/ml. Namun demikian, jelas bahwa SIRS oleh sebab apapun, berhubungan dengan peningkatan kadar PCT yang berkaitan dengan keparahan tanggapan sistemik(13, 14, 15).
Gambar 7. Skema pemeriksaan PCT dengan imunoluminometrik essai(2).
Pemeriksaan serum procalcitonin PCT diukur pada serum dengan menggunakan pemeriksaan imunoluminometrik. Pemeriksaan menggunakan dua antibodi monoklonal antigenspesifik, satu diarahkan ke calcitonin (menggunakan label luminescence) dan lainnya ke katacalcin. Batas untuk mengetahui pemeriksaan adalah 0,1 ng/ml dan koefisien variasinya 5 sampai 10% dengan rentang 1 sampai 1000 ng/ml. Pemeriksaan juga tidak dipengaruhi antibiotika, sedatif dan agen vasoaktif yang secara umum digunakan di dalam unit perawatan intensif.(2)
Pengukuran dapat menggunakan kit yang dibuat untuk Roche Elecsys. Pengukuran ini menggunakan Imuneassay electrochemiluminescence sandwich 2 langkah 2 tempat (ECLIA) menggunakan biotin yang ditandai oleh antibodi PCT-spesifik dan antibodi monoklonal PCT spesifik yang ditandai oleh kompleks ruthenium. (16)
Sampel (30 L) diinkubasi pada suhu 37oC dengan biotin dan ruthenium yang ditandai dengan antibodi anti-PCT untuk membentuk kompleks sandwich. Pada inkubasi kedua, streptavidin-coated Samicroparticles ditambahkan oleh yang mengkikat kompleks dengan interaksi biotin-streptavidin. Camapuran reaksi diaspirasi pada cell yang diukur dimana mikropartikelnya ditangkap secara magnetis ke permukaan elektroda. Substansi yang tidak berikatan dihilangkan dengan mencuci dan aplikasi listrik ke elektroda, chemiluminescence diinduksi saat terukur oleh sebuah photomultiplier. (16)
Gambar 8. Procalcitonin Immunoassay pada Roche cobas e 411(16)
Trauma mekanis menyebabkan peningkatan kadar PCT trauma, derajat yang tergantung pada beratnya cedera. Tingkat puncak pada 1-3 hari dan setelah itu menurun. konsentrasi yang tinggi beredar PCT selama 3 hari pertama setelah cedera membedakan antara pasien yang beresiko untuk SIRS, sepsis dan disfungsi beberapa organ pada awal dan program pasca-traumatik akhir .(9)
IV.2 PCT untuk mengetahui efektifitas terapi
Untuk mengatasi infeksi septik, Procalcitonin (PCT) kembali ke nilai di bawah 0,5 ng / mL, dengan waktu paruh 24 jam. Akibatnya, penentuan PCT secara in vitro yang dapat digunakan untuk memonitor program dan prognosis mengancam kehidupan infeksi bakteri sistemik dan untuk menyesuaikan lebih efisiennya intervensi terapeutik. Misalnya telah ditunjukkan untuk pemantauan pasien dengan ventilator-associated pneumonia (VAP). (4,5)
Gambar 9. Kadar PCT serum sesuai dengan respon pasien terhadap pengobatan antibiotik (n = 109) 5
ASPEK PRAKTIS PENENTUAN PCT DI LABORATORIUM
Tingkat mutlak peningkatan konsentrasi PCT dengan peningkatan keparahan penyakit. Namun, sebagai ekspresi individual respon imun yang berbeda dan situasi klinis yang berbeda, fokus infeksi yang sama dapat dikaitkan dengan berbagai peningkatan konsentrasi individu dalam PCT.(2,4)
Bahan sample: serum atau plasma
Stabilitas in vitro:pada suhu kamar (mengalami penguraian/ dekomposisi setelah 24 jam 10 %), pada suhu -20o C stabil selama 1 bulan, pada keadaan beku atau cair, siklus 3 kali PCT sample menurun 3 %.
Waktu paruh in vivo: kira-kira 24 jam
Pengukuran PCT untuk memantau penderita: minimum satu kali sehari.
Penafsiran (Interpretasi) PCT (pascabedah, bebas sepsis dan pasca-awal pengobatan antibiotika): bila 50% PCT menurun menunjukkan keberhasilan pengobatan, tetapi bila tetap atau kadar PCT meningkat tidak ada perubahan dengan pengobatan berarti penyakit memburuk.
Penafsiran (Interpretasi) PCT sesudah pemantauan penyakit infeksi dengan risiko tinggi (pascatransplantasi atau politrauma): bukan komplikasi infeksi kadar PCT rendah atau menurun dari kadar yang tinggi (sesudah beberapa hari pascabedah). Bila kadar PCT tetap tinggi atau kadar PCT meningkat merupakan petunjuk ada komplikasi. (2,4)
O’Connor et al1 mendemonstrasikan bahwa pembekuan (freezing) dan pencairan (thawing cycles) tidak berpengaruh pada kepekatan PCT. Sesudah penyimpanan plasma selama 24 jam pada suhu ruang, akan kehilangan kepekatan PCT sampai 12,4% dan 6,3% pada suhu 4°C. Untuk pemeriksaan ini hanya dibutuhkan 20 ul sampel serum atau plasma. Kepekatan PCT yang berasal sampel dari darah arteri atau vena tidak berbeda, paling baik menggunakan plasma EDTA. Sampel disimpan pada suhu ruang dan harus diperiksa dalam waktu 4 jam pasca pengumpulan. Penggunaan antikoagulan litium heparin akan menghasilkan perbedaan serum (7,6% ) lebih tinggi). Pada penelitian lain ketelitian yang baik ditemukan koefisien variasi (CV) antar pemeriksaan bervariasi antara 7,2% pada kepekatan serum PCT 1,2 ng/ml dan 3,2% pada kepekatan 52 ng/ml].(5)
Diagnosis Infeksi bakteri sistemik/sepsis(17,18)
SIRS, sepsis, sepsis berat dan syok septik dikategorikan berdasarkan kriteria konferensi konsensus American College of Chest Physicians / Society of Critical Care Medicine.
PCT <0,5 ng / ml
infeksi sistemik (sepsis) tidak mungkin
infeksi bakteri mungkin Lokal
Risiko rendah untuk perkembangan pada infeksi sistemik yang parah (sepsis berat)
Perhatian: PCT tingkat di bawah 0,5 ng / ml tidak mengecualikan infeksi, karena infeksi lokal (tanpa tanda sistemik) dapat dikaitkan dengan tingkat rendah seperti itu. Juga jika pengukuran PCT dilakukan sangat awal setelah infeksi bakteri (biasanya <6 jam), nilai-nilai ini mungkin masih rendah. Dalam hal ini, PCT harus dinilai kembali 6-24 jam kemudian. Risiko rendah untuk perkembangan pada infeksi sistemik yang parah (sepsis berat).
PCT> 0,5 dan <2 ng / ml
infeksi sistemik (sepsis) adalah mungkin, tapi berbagai kondisi diketahui menginduksi PCT juga Risiko sedang untuk perkembangan pada infeksi sistemik yang berat (sepsis berat).
Pasien harus dimonitor baik secara klinis dan dinilai kembali PCT dalam 6-24 jam.
PCT> 2 dan <10 ng / ml
infeksi sistemik (sepsis) adalah mungkin, kecuali penyebab lainnya sudah diketahui Risiko tinggi untuk perkembangan pada infeksi sistemik yang parah (sepsis berat)
PCT> 10 ng / ml
Penting respons inflamasi sistemik inflamasi, hampir secara eksklusif karena bakteri sepsis berat atau syok septik Tinggi kemungkinan sepsis parah atau septik syok Sepsis berat atau sepsis syok
Pada pengamatan kepekatan PCT tidak dipengaruhi oleh haemoglobin, bilirubin ataupun trigliserida (kecuali pada kasus haemolisis berat). Kadar PCT kemungkinan juga meningkat selama 24 jam pertama kehidupan. Penderita dengan carcinoma C-cell tiroid dan sel kecil kanker paru juga dilaporkan mempunyai peningkatan kepekatan serum PCT. (2,10)
Nilai optimal cut-off kisaran Procalcitonin (PCT) adalah variabel dan tergantung pada :
* Pengaturan klinis (misalnya, darurat kamar, ICU, pasca-operasi atau trauma penderita)
* Situs dan tingkat infeksi (misalnya, meningitis, infeksi perut)
* Co-morbiditas (misalnya, imunosupresi)
* Implikasi klinis diambil (misalnya diagnosis, prognosis, pekerjaan antibiotik).
Gambar 10. Penggunaan potensial pada pengukuran PCT4
PERBANDINGAN KALSITONIN DENGAN PENANDA SEPSIS YANG LAIN
Di antara parameter laboratorium yang tersedia PCT telah terbukti paling berguna. PCT telah ditunjukkan untuk menjadi penanda terbaik untuk membedakan pasien dengan sepsis dari mereka reaksi dengan inflamasi sistemik tidak berhubungan dengan penyebab infeksi.(5)
Gambar 11 Perbandingan kinerja berbagai penanda diagnostik untuk diagnosis infeksi bakteri / sepsis (4)
Gambar 11a: PCT versus CRP
Summary Receiver Operating Characteristic (SROC) membandingkan kurva marker procalcitonin serum (PCT) dan protein C-reaktif (CRP) untuk mendeteksi infeksi bakteri versus non-infektif menyebabkan peradangan. Setiap titik berkontribusi terhadap kurva SROC merupakan 1 penelitian (jumlah studi: 10; jumlah pasien 905).(4)
Gambar 12a, b: Perbedaan antara SIRS*, sepsis, sepsis berat dan syok sepsis dengan PCT dan IL-6 * Systemic Inflammatory Response Syndrome(4)
Gambar 13 PCT dibandingkan IL-6 dan IL-8
Kurva Receiver operating characteristics (ROC) dibandingkan serum procalcitonin (PCT), interleukin 6 (IL-6) dan interleukin 8 (IL-8) untuk mendeteksi sepsis di ICU(4)
Gambar 14a, b: Diagnosis beratnya penyakit (Peningkatan disfungsi organ) dengan PCT dan CRP(4)
Tabel 2. Perbandingan PCT, IL-8, IL-6, IL-2, TNF-a, CRP sebagai parameter untuk memprediksi sepsis (9)
Muller dan koleganya meneliti 101 pasien dirawat di ICU medis dan menyarankan bahwa PCT merupakan penanda lebih baik untuk sepsis daripada CRP, IL-6 dan tingkat laktat. Untuk menilai nilai diagnostik PCT, IL-6, IL-8 dan standar untuk mengidentifikasi pasien yang sakit kritis dengan SIRS dan dicurigai sepsis, pengukuran calon diambil pada 78 pasien berturut-turut dengan SIRS akut dan dicurigai infeksi . PCT menghasilkan nilai tertinggi untuk membedakan pasien dengan SIRS dari mereka yang sepsis, diikuti oleh IL-6 dan-8 [6 IL]. (9, 19)
KESIMPULAN
Pada klinis yang berhubungan dengan infeksi bakteri, Procalcitonin (PCT) diproduksi pada jalur alternatif pada jaringan parenkim dan dieksresikan pada sirkulasi darah. Jalur ini dihambat oleh infeksi virus sehingga PCT merupakan marker spesifik untuk infeksi bakteri.(4)
Procalcitonin merupakan prohormon calcitonin, mengandung 3 fragmen, yaitu: a. fragmen N terminal aminoprocalcitonin (57 asam amino), b. calcitonin (32 asam amino) terletak pada pusat peptida, dan c. calcitonin carboxyterminal peptide-1 (CC-1) atau katacalcin (21 asam amino) pada ujung terminal karboksil. PCT sebagai petanda infeksi menampilkan siasat baru dalam mendiagnosis sepsis. PCT secara umum memberikan sensitivitas dan spesifisitas lebih baik daripada CRP untuk mendiagnosis infeksi dan merupakan petunjuk prognostik yang lebih baik dibandingkan dengan CRP Setelah rangsangan bakteri, kadar PCT meningkat lebih cepat dibandingkan dengan CRP. Kegunaan pengukuran serum PCT sebagai petanda infeksi bisa diringkas sebagai berikut:
1) PCT dapat membedakan antara infeksi dan non infeksi pada SIRS,
2) PCT dapat membedakan antara sepsis bakteri dan virus,
3) Cut off PCT memberikan sensitifitas dan spesifisitas optimum untuk mendiagnosis infeksi beragam dengan keadaan yang berbeda,
4) Pengaruh obat antimikroba,vasoaktif dll. terhadap PCT sangat rendah.
Pada infeksi lokal, tidak ada peningkatan kadar PCT, penurunan yang tajam kadar PCT terhadap terapi antibiotika tidak secara langsung menyatakan penghilangan infeksi, tetapi semata-mata merupakan tanggapan sistemik yang terkendali. PCT diukur dalam serum menggunakan pemeriksaan imunoluminometrik. Pemeriksaan menggunakan dua antibodi monoklonal antigenspesifik yang berdaya lacak pemeriksaan 0,1 ng/ml. Pada orang sehat kadar PCT < 0,1 mg/ml dan meningkat pada penderita yang terinfeksi bakteri.(2,20)
Sepsis didefinisikan sebagai respon sistemik tubuh terhadap infeksi. Infeksi yang disebabkan mikroorganisme atau germ (umumnya bakteri) masuk dalam tubuh, dan terbatas di bagian tubuh (misal: abses gigi) atau menyebar keseluruh peredaran darah (disebut septikemia) atau “keracunan darah”. (1,2)
Semua orang dapat berisiko sepsis karena infeksi ringan (misal influenza, infeksi saluran kencing, gastroenteritis dll). Sepsis dapat terjadi pula pada orang termuda (bayi premature) atau orang tua, sistem kekebalan (system immune) lemah (compromised), pengobatan kemoterapi, steroid untuk keadaan peradangan (inflamasi), mempunyai kebiasaan peminum alkohol atau obat, mendapat pengobatan atau pemeriksaan (kateter iv, tirisan/drain luka, kateter kemih (urin), kemudahan menderita sepsis karena faktor genetik. Sepsis sering terjadi di rumah sakit sebab kemajuan teknik kedokteran berkaitan dengan pengobatan. Jumlah penderita tua atau lemah dan penderita dengan penyakit lain yang menyertai kanker dan memerlukan pengobatan. Pemakaian antibiotika yang luas, yang mengakibatkan pertumbuhan mikroorganisme yang menjadi rentan (resisten) obat.(1)
Sepsis dibedakan atas tiga bentuk yaitu:
1. Sepsis tanpa penyulit (komplikasi) yaitu sepsis akibat influenza atau infeksi virus lain, gastroenteritis biasanya penderita tidak perlu rawat inap.
2. Sepsis berat, perkiraan 750.000 perorang menderita sepsis berat di Amerika utara tiap tahun, hampir sama di Eropa. Semua memerlukan perawatan di rumah sakit. Sepsis berat bila terdapat gabungan dengan satu atau lebih organ penting (vital) misal jantung, paru, ginjal atau hati (kematian sekitar 30 sampai 35%).
3. Renjatan sepsis (Shock). Terjadi renjatan sepsis bila komplikasi dengan tekanan darah tinggi tidak tanggap terhadap pengobatan standar (pemberian cairan) dan menyebabkan masalah dari organ vitalnya. Sehingga tubuh tidak cukup menerima oksigen, penderita perlu perawatan intensif, kematian mencapai 50%.
Diagnosis infeksi bakteri pada penderita berpenyakit kritis masih sulit, karena keadaan non infeksi lain yang dapat menurunkan tanggap inflamasi (contohnya: trauma, pembedahan besar dan luka bakar). Parameter klinis dan laboratorium yang lazimnya (konvensional) untuk diagnosis infeksi kurang sensitif dan spesifik padahal diagnosis harus sejalan dengan parameter biologis. Selama beberapa tahun terakhir pada banyak literatur, beberapa petanda pemeriksaan telah diuji sebagai suatu tanda yang sesuai dengan infeksi dan sepsis, tetapi tidak satupun petunjuk (indikator) yang dapat menentukan infeksi bakteri akut atau proses inflamasi bukan karena infeksi. Indikator itu di antaranya C-reactive protein, Procalcitonin(PCT), Interleukin (IL)-6, IL-8, IL-10,dan Tumor Necrosis Factor. Di antara beberapa parameter tersebut, yang paling bermakna dalam menggambarkan perburukan penyakit, syok septic dan gagal multi organ adalah IL-6, IL-8 dan PCT. (1,2,3)
Sejak awal tahun 1990-an procalcitonin (PCT) pertama kali digambarkan sebagai tanda spesifik infeksi bakteri. Kepekatan serum procalcitonin meningkat saat inflamasi sistemik, khususnya ketika hal tersebut disebabkan oleh infeksi bakteri. Procalcitonin ialah prohormon calcitonin, kadarnya meningkat saat sepsis dan sudah dikenali sebagai petanda penyakit infeksi sebab penyakit berat. Kepekatan PCT dapat mencapai 1000 ng/ml saat sepsis berat dan syok sepsis. Namun demikian, sumber asal PCT selama sepsis belum jelas, apakah nilai kadar PCT dapat membedakan antara penyakit infeksi dan non infeksi. Pada keadaan fisiologis, kadar procalcitonin rendah bahkan tidak terdapati (dalam ng/ml), tetapi akan meningkat bila terjadi bakteremia atau fungimia yang timbul sesuai dengan berat infeksi. Tetapi pada temuan beberapa peneliti peningkatan procalcitonin terdapat juga pada keadaan bukan infeksi, selain itu juga merupakan pengukuran yang lebih sensitif dibandingkan dengan beberapa uji laboratorik lain. Misalnya laju endap darah (LED), perhitungan lekosit dan C reactive protein sebagai sarana bantu diagnosis sepsis bakteri . Pada telaah pustaka ini akan dibahas manfaat procalcitonin dan pemeriksaan untuk kepentingan diagnostik penyakit.(1,3)
SINTESIS DAN STRUKTUR BIOKIMIAWI
Procalcitonin (PCT) adalah peptide yang terdiri dari 116 asam amino protein. PCT secara enzimatis didegradasi menadi peptide berat molekul rendah dengan produk akhir terdiri dari 32 asam amino dan disebut Calcitonin. Sintesis PCT diatur oleh gen Calc-1 terletak pada kromosom 11. Pada individu sehat produksi PCT dan kemudian calcitonin terjadi dalam sel-C tiroid. Dalam kondisi inflamasi sistemik, yang memicu produksi mediator inflamasi di mana-mana termasuk PCT oleh sel nonneuroendocrine seluruh tubuh. Induksi Calc-1 transkripsi dan ekspresi mRNA calcitonin telah ditunjukkan dalam jaringan ekstra-thyroidal, termasuk hati, ginjal, pankreas, adiposa dan sel darah putih. Stimulus untuk transkripsi gen dan sekresi PCT tampaknya baik secara langsung melalui racun mikroba dan secara tidak langsung melalui mediator inflamasi, seperti IL-1, IL-6 dan TNF. Dalam keadaan normal, PCT didegradasi dan tidak ada yang dilepaskan ke dalam aliran darah, oleh karena itu, tingkat PCT yang tidak terdeteksi ( <0,05 ng / ml) pada individu sehat. Namun, peningkatan yang signifikan pada konsentrasi plasma PCT telah terdeteksi selama infeksi berat dengan manifestasi sistemik. (1,4,5,6)
Molekul PCT sangat stabil baik dalam kondisi in vivo maupun in vitro,berbeda dengan waktu paruh calcitonin yang pendek (10 menit), PCT memiliki waktu paruh yang panjang yaitu 25 - 30 jam dalam serum. Salah satu keunggulan utama dari PCT dibandingkan dengan parameter lainnya adalah meningkat pada awal infeksi dan sangat spesifik yang dapat diamati 3-6 jam setelah terkena infeksi.(5,7)
Gambar 1. Struktur PCT
Gambar 2. proses post translasi precursor calcitonin
Gambar 3. Sintesis Procalcitonin
Di bawah kondisi metabolisme yang normal, hormon aktif calcitonin diproduksi dan disekresi pada sel C glandula thyroid,proses proteolitik spesifik intrasel dari prohormon PCT. Ekspresi CT mRNA hanya terjadi di sel neuroendokrin. Hormon ini memegang peranan penting pada jalur regulasi dari calcium dan fosfat dalam proses metabolisme tulang. (4)
Gambar 4. Pengeluaran calcitonin berdasarkan regulasi endokrin
Berbeda dengan peran PCT dalam rangka endokrin, proses yang ada kemungkinan menjadi alternatif sintesis sehubungan dengan infeksi mikroba. Induktor untuk sintesis adalah sitokin inflamasi seperti IL-1β dan TNF-α tetapi juga elemen membran atau dinding sel mikroba seperti LPS atau peptidoglycanes. Jalur ini pertama kali dideskripsikan oleh Müller dkk. 2001. Setelah induksi sepsis adalah mungkin untuk mendeteksi mRNA untuk PCT di semua jaringan diselidiki. Linscheid et al. 2004 menggambarkan mekanisme jalur biokimia dan situs sintesis PCT setelah infeksi bakteri. Mereka meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi sintesis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam kasus infeksi bakteri dua mekanisme sintesis sedang bekerja. Pada awalnya sitokin-pemeluk monosit distimulasi PCT dirilis dalam jumlah yang rendah (<2h). Sintesis ini dibatasi, tetapi memainkan peran penting dalam inisiasi sintesis PCT pada jaringan penyimpanan manusia. Ledakan PCT ini dimulai di seluruh jaringan penyimpanan (> 18h). jaringan parenkim adalah tipe yang paling umum jaringan dalam organisme manusia. Hal ini menjelaskan mengapa konsentrasi ekstrim PCT dapat dihasilkan (100,000 meningkat beberapa kali lipat dalam kontras dengan konsentrasi fisiologis). Ledakan PCT berlanjut terus selama stimulus untuk sintesis ada. Dalam percobaan tambahan itu dijelaskan mengapa PCT hanya disintesis selama bakteri tapi tidak di infeksi virus. Sel diinkubasi di satu sisi dengan IL- 1 dan di sisi lain dengan IL-1 dan INF-. (4)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sel-sel diperlakukan dengan baik, sitokin tidak mensintesis PCT. Kesimpulannya adalah bahwa sel yang terinfeksi oleh virus dirilis INF-. Sitokin ini memiliki pengaruh langsung terhadap sintesis PCT. Temuan ini mengarah pada penjelasan fakta bahwa PCT merupakan alat yang sempurna untuk membedakan antara infeksi virus dan bakteri.(4)
INDUKSI PLASMA PCT
PCT diimbas (induksi) oleh endotoksin yang dihasilkan bakteri selama infeksi sistemik. Infeksi yang disebabkan protozoa, infeksi non-bakteri(virus), neoplasma dan penyakit autoimun tidak menginduksi PCT. Namun, selain infeksi bakteri, PCT juga meningkat pada karsinoma medullare tiroid, SCLC. Kadar PCT juga dapat meningkat pada gagal ginjal, trauma, interaksi farmakologik dan operasi. Kadar PCT muncul cepat dalam 2 jam setelah rangsangan, puncaknya setelah 12 sampai 48 jam dan secara perlahan menurun dalam 48 sampai 72 jam, sedangkan CRP tidak terdapat dalam 6 jam. Seperti halnya CRP, IL-6 juga tidak dapat membedakan secara jelas sumber inflamasi. Pada keadaan inflamasi akibat bakteri kadar PCT selalu > 2 ng/ml. Pada kasus akibat infeksi virus kadar PCT > 0,05 ng/ml tetapi biasanya < 1 ng/ml.(1,7)
Pada percobaan orang sehat, yang diberi dosis rendah secara intravenus endotoksin Escherichia coli, setelah 1 jam injeksi ia merasa sakit. Kemudian dalam 1 sampai 2 jam demam dan berkembang menggigil, kaku dan mialgia dalam waktu 1 sampai 3 jam. PCT tidak dapat ditemukan dalam plasma pada 2 jam pertama, tetapi secara tetap tertemukan setelah 4 jam, meningkat tajam pada 6 jam dan tetap tinggi selama 8 sampai 24 jam. Kadar plasma TNF-α meningkat secara tajam setelah 1 jam, puncaknya setelah 2 jam dan menurun ke garis dasar sesudah 6 jam. Kadar plasma IL-6 mencapai puncak pada 3 jam dan kembali ke garis dasar setelah 8 jam. Peningkatan plasma PCT terjadi secara singkat sesudah kadar sitokin mencapai puncak. Penelitian lain pada pemberian rhTNF-α dan melphalan melalui isolasi perfusi tungkai menunjukkan hasil yang hampir sama, tetapi melphalan menunjukkan perubahan kecil. (1,8)
Lebih lanjut, kadar IL-6 dan IL-8 meningkat sesudah perfusi rhTNF-α dan mencapai puncak beberapa jam sesudah PCT. Dapat disimpulkan bahwa peningkatan kadar serum PCT secara langsung atau tidak langsung dibantu oleh sitokin rhTNF-α dan rhIL-6. C-reactive protein dan Serum Amiloid A Protein (SAA) tanggap terhadap rangsangan yang sama walaupun lebih lambat.(1,8)
Gambar 5. Waktu dan kepekatan PCT, CRP dan sitokin setelah trauma bedah.
FUNGSI
Pola produksi procalcitonin tampak mirip dengan beberapa komponen tangga sitokin, dan petanda aktivasi imunitas seluler yang menunjukkan bahwa ini merupakan pereaksi fase akut. Kadar procalcitonin dalam serum yang ditemukan sangat berhubungan dengan keparahan infeksi bakteri dan SIRS. Infeksi yang terjadi terbatas di organ tunggal tanpa ada tanggapan reaksi inflamasi sistemik, kadar procalcitonin rendah atau sedang. Tampaknya proses inflammasi selain infeksi mendukung sekresi procalcitonin, tetapi menempati tangga sitokin yang terjadi pada sepsis dan proses inflamasi lain yang tidak diketahui.(2)
IV.1 Procalcitonin penanda sepsis
PCT menghambat prostaglandin dan sintesis tromboksan pada limfosit in vitro dan mengurangi hubungan stimulasi LPS terhadap produksi TNF pada kultur whole blood. Menurut Whicher et al pemberian rekombinan human PCT terhadap sepsis pada tupai menghasilkan peningkatan mortalitas yang berbanding terbalik dengan pemberian netralisasi antibodi. Kemungkinan PCT peran dalam fisiologi sepsis yang didukung oleh untaian (sequensing homolog) antara PCT dan sitokin seperti TNF, IL-6 dan granulocyte colony-stimulating factor. PCT merupakan petanda diagnostik infeksi bakteri. (9,10, 11)
Gambar 6. Peningkatkan PCT mencerminkan perkembangan lanjut dari suatu kondisi yang sehat kepada kondisi-kondisi yang paling parah (sepsis berat dan syok septik)5
PCT tingkat rendah biasanya disebabkan infeksi virus, gangguan peradangan kronis atau proses autoimun. tingkat PCT pada sepsis pada umumnya lebih besar dari 1-2 ng / mL dan sering mencapai nilai antara 10 dan 100 ng / mL, atau jauh lebih tinggi dalam kasus-kasus individu, sehingga memungkinkan diferensiasi diagnostik antara berbagai kondisi klinis dan infeksi bakteri berat.(5, 10, 11)
Kadar PCT dapat menurun bila ada tanggapan terapi antibiotika. Mengikuti kerja terdahulu kelompok Assicot, data lain yang dipublikasikan mendukung catatan bahwa kadar serum PCT secara dramatis memuncak di penderita yang terinfeksi bakteri dan malaria, sedangkan pada sepsis akibat jamur hasilnya kurang meyakinkan. Namun demikian, ada juga laporan lain yang menyatakan sedikit atau tidak adanya peningkatan PCT pada penderita dengan penyebaran sepsis akibat jamur. Berbeda dengan infeksi bakteri dan parasit, peningkatan PCT yang ringan terlihat pada infeksi virus. Kadar serum PCT dapat dikatakan sebagai suatu tanda untuk membedakan antara sepsis virus dan sepsis bakteri, khususnya di penderita dengan meningitis. Didasari data yang telah dipublikasikan, terbukti bahwa baik infeksi bakteri maupun virus disertai dengan SIRS berkaitan dengan kadar PCT yang tinggi dibandingkan dengan infeksi virus dan infeksi bakteri yang bersifat lokal. Namun demikian, penderita yang mengalami infeksi lokal tanpa tanggap sistemik tidak menampakkan kadar serum PCT yang tinggi. Sebagai pembanding, penderita yang tidak mengalami perkembangan tanda Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) seperti penderita lanjut usia atau penderita malgizi (malnustrisi) kemungkinan tidak menurunkan tanggap PCT yang bermakna, meskipun hal ini belum diuji. Ada juga data yang menunjukkan pada pengamatan bahwa puncak PCT lebih tinggi di meningitis bakteri positif Gram dari pada negatif Gram. Procalcitonin dibandingkan dengan petanda inflamasi lain Pada beberapa kajian dinyatakan bahwa PCT lebih sensitif dan spesifik untuk diagnosis infeksi dibandingkan dengan C reactive protein, IL-6 dan IL-8 pada berbagai situasi klinis.O’Connor et al meneliti penderita dewasa yang dirawat di unit perawatan intensif dengan suatu prediksi lama perawatan lebih 24 jam dan dibagi menurut diagnosisnya: tanpa infeksi (SIRS dan infeksi), SIRS dan tanpa infeksi, sepsis, sepsis berat, dan syok sepsis. Pada penghalangan (cut off) 1,0 ng/ml, kadar PCT secara bermakna meningkat di penderita dengan sepsis, sepsis berat dan syok sepsis dibandingkan dengan penderita tanpa SIRS atau infeksi. PCT merupakan variabel uji laboratorium yang paling tepat betul untuk diagnosis infeksi dengan sensitifitas 89%, spesifisitas 94%, nilai peramalan negatif 90% dan nilai peramalan positif 94%. Penurunan yang lambat atau tidak adanya penurunan kadar PCT selama 48 jam sesudah rawat inap berkaitan dengan hasil pemeriksaan yang buruk. Pada kasus dengan kematian, kadar serum PCT tidak pernah < 1,1 ng/ml. Namun demikian, jelas bahwa SIRS oleh sebab apapun, berhubungan dengan peningkatan kadar PCT yang berkaitan dengan keparahan tanggapan sistemik(13, 14, 15).
Gambar 7. Skema pemeriksaan PCT dengan imunoluminometrik essai(2).
Pemeriksaan serum procalcitonin PCT diukur pada serum dengan menggunakan pemeriksaan imunoluminometrik. Pemeriksaan menggunakan dua antibodi monoklonal antigenspesifik, satu diarahkan ke calcitonin (menggunakan label luminescence) dan lainnya ke katacalcin. Batas untuk mengetahui pemeriksaan adalah 0,1 ng/ml dan koefisien variasinya 5 sampai 10% dengan rentang 1 sampai 1000 ng/ml. Pemeriksaan juga tidak dipengaruhi antibiotika, sedatif dan agen vasoaktif yang secara umum digunakan di dalam unit perawatan intensif.(2)
Pengukuran dapat menggunakan kit yang dibuat untuk Roche Elecsys. Pengukuran ini menggunakan Imuneassay electrochemiluminescence sandwich 2 langkah 2 tempat (ECLIA) menggunakan biotin yang ditandai oleh antibodi PCT-spesifik dan antibodi monoklonal PCT spesifik yang ditandai oleh kompleks ruthenium. (16)
Sampel (30 L) diinkubasi pada suhu 37oC dengan biotin dan ruthenium yang ditandai dengan antibodi anti-PCT untuk membentuk kompleks sandwich. Pada inkubasi kedua, streptavidin-coated Samicroparticles ditambahkan oleh yang mengkikat kompleks dengan interaksi biotin-streptavidin. Camapuran reaksi diaspirasi pada cell yang diukur dimana mikropartikelnya ditangkap secara magnetis ke permukaan elektroda. Substansi yang tidak berikatan dihilangkan dengan mencuci dan aplikasi listrik ke elektroda, chemiluminescence diinduksi saat terukur oleh sebuah photomultiplier. (16)
Gambar 8. Procalcitonin Immunoassay pada Roche cobas e 411(16)
Trauma mekanis menyebabkan peningkatan kadar PCT trauma, derajat yang tergantung pada beratnya cedera. Tingkat puncak pada 1-3 hari dan setelah itu menurun. konsentrasi yang tinggi beredar PCT selama 3 hari pertama setelah cedera membedakan antara pasien yang beresiko untuk SIRS, sepsis dan disfungsi beberapa organ pada awal dan program pasca-traumatik akhir .(9)
IV.2 PCT untuk mengetahui efektifitas terapi
Untuk mengatasi infeksi septik, Procalcitonin (PCT) kembali ke nilai di bawah 0,5 ng / mL, dengan waktu paruh 24 jam. Akibatnya, penentuan PCT secara in vitro yang dapat digunakan untuk memonitor program dan prognosis mengancam kehidupan infeksi bakteri sistemik dan untuk menyesuaikan lebih efisiennya intervensi terapeutik. Misalnya telah ditunjukkan untuk pemantauan pasien dengan ventilator-associated pneumonia (VAP). (4,5)
Gambar 9. Kadar PCT serum sesuai dengan respon pasien terhadap pengobatan antibiotik (n = 109) 5
ASPEK PRAKTIS PENENTUAN PCT DI LABORATORIUM
Tingkat mutlak peningkatan konsentrasi PCT dengan peningkatan keparahan penyakit. Namun, sebagai ekspresi individual respon imun yang berbeda dan situasi klinis yang berbeda, fokus infeksi yang sama dapat dikaitkan dengan berbagai peningkatan konsentrasi individu dalam PCT.(2,4)
Bahan sample: serum atau plasma
Stabilitas in vitro:pada suhu kamar (mengalami penguraian/ dekomposisi setelah 24 jam 10 %), pada suhu -20o C stabil selama 1 bulan, pada keadaan beku atau cair, siklus 3 kali PCT sample menurun 3 %.
Waktu paruh in vivo: kira-kira 24 jam
Pengukuran PCT untuk memantau penderita: minimum satu kali sehari.
Penafsiran (Interpretasi) PCT (pascabedah, bebas sepsis dan pasca-awal pengobatan antibiotika): bila 50% PCT menurun menunjukkan keberhasilan pengobatan, tetapi bila tetap atau kadar PCT meningkat tidak ada perubahan dengan pengobatan berarti penyakit memburuk.
Penafsiran (Interpretasi) PCT sesudah pemantauan penyakit infeksi dengan risiko tinggi (pascatransplantasi atau politrauma): bukan komplikasi infeksi kadar PCT rendah atau menurun dari kadar yang tinggi (sesudah beberapa hari pascabedah). Bila kadar PCT tetap tinggi atau kadar PCT meningkat merupakan petunjuk ada komplikasi. (2,4)
O’Connor et al1 mendemonstrasikan bahwa pembekuan (freezing) dan pencairan (thawing cycles) tidak berpengaruh pada kepekatan PCT. Sesudah penyimpanan plasma selama 24 jam pada suhu ruang, akan kehilangan kepekatan PCT sampai 12,4% dan 6,3% pada suhu 4°C. Untuk pemeriksaan ini hanya dibutuhkan 20 ul sampel serum atau plasma. Kepekatan PCT yang berasal sampel dari darah arteri atau vena tidak berbeda, paling baik menggunakan plasma EDTA. Sampel disimpan pada suhu ruang dan harus diperiksa dalam waktu 4 jam pasca pengumpulan. Penggunaan antikoagulan litium heparin akan menghasilkan perbedaan serum (7,6% ) lebih tinggi). Pada penelitian lain ketelitian yang baik ditemukan koefisien variasi (CV) antar pemeriksaan bervariasi antara 7,2% pada kepekatan serum PCT 1,2 ng/ml dan 3,2% pada kepekatan 52 ng/ml].(5)
Diagnosis Infeksi bakteri sistemik/sepsis(17,18)
SIRS, sepsis, sepsis berat dan syok septik dikategorikan berdasarkan kriteria konferensi konsensus American College of Chest Physicians / Society of Critical Care Medicine.
PCT <0,5 ng / ml
infeksi sistemik (sepsis) tidak mungkin
infeksi bakteri mungkin Lokal
Risiko rendah untuk perkembangan pada infeksi sistemik yang parah (sepsis berat)
Perhatian: PCT tingkat di bawah 0,5 ng / ml tidak mengecualikan infeksi, karena infeksi lokal (tanpa tanda sistemik) dapat dikaitkan dengan tingkat rendah seperti itu. Juga jika pengukuran PCT dilakukan sangat awal setelah infeksi bakteri (biasanya <6 jam), nilai-nilai ini mungkin masih rendah. Dalam hal ini, PCT harus dinilai kembali 6-24 jam kemudian. Risiko rendah untuk perkembangan pada infeksi sistemik yang parah (sepsis berat).
PCT> 0,5 dan <2 ng / ml
infeksi sistemik (sepsis) adalah mungkin, tapi berbagai kondisi diketahui menginduksi PCT juga Risiko sedang untuk perkembangan pada infeksi sistemik yang berat (sepsis berat).
Pasien harus dimonitor baik secara klinis dan dinilai kembali PCT dalam 6-24 jam.
PCT> 2 dan <10 ng / ml
infeksi sistemik (sepsis) adalah mungkin, kecuali penyebab lainnya sudah diketahui Risiko tinggi untuk perkembangan pada infeksi sistemik yang parah (sepsis berat)
PCT> 10 ng / ml
Penting respons inflamasi sistemik inflamasi, hampir secara eksklusif karena bakteri sepsis berat atau syok septik Tinggi kemungkinan sepsis parah atau septik syok Sepsis berat atau sepsis syok
Pada pengamatan kepekatan PCT tidak dipengaruhi oleh haemoglobin, bilirubin ataupun trigliserida (kecuali pada kasus haemolisis berat). Kadar PCT kemungkinan juga meningkat selama 24 jam pertama kehidupan. Penderita dengan carcinoma C-cell tiroid dan sel kecil kanker paru juga dilaporkan mempunyai peningkatan kepekatan serum PCT. (2,10)
Nilai optimal cut-off kisaran Procalcitonin (PCT) adalah variabel dan tergantung pada :
* Pengaturan klinis (misalnya, darurat kamar, ICU, pasca-operasi atau trauma penderita)
* Situs dan tingkat infeksi (misalnya, meningitis, infeksi perut)
* Co-morbiditas (misalnya, imunosupresi)
* Implikasi klinis diambil (misalnya diagnosis, prognosis, pekerjaan antibiotik).
Gambar 10. Penggunaan potensial pada pengukuran PCT4
PERBANDINGAN KALSITONIN DENGAN PENANDA SEPSIS YANG LAIN
Di antara parameter laboratorium yang tersedia PCT telah terbukti paling berguna. PCT telah ditunjukkan untuk menjadi penanda terbaik untuk membedakan pasien dengan sepsis dari mereka reaksi dengan inflamasi sistemik tidak berhubungan dengan penyebab infeksi.(5)
Gambar 11 Perbandingan kinerja berbagai penanda diagnostik untuk diagnosis infeksi bakteri / sepsis (4)
Gambar 11a: PCT versus CRP
Summary Receiver Operating Characteristic (SROC) membandingkan kurva marker procalcitonin serum (PCT) dan protein C-reaktif (CRP) untuk mendeteksi infeksi bakteri versus non-infektif menyebabkan peradangan. Setiap titik berkontribusi terhadap kurva SROC merupakan 1 penelitian (jumlah studi: 10; jumlah pasien 905).(4)
Gambar 12a, b: Perbedaan antara SIRS*, sepsis, sepsis berat dan syok sepsis dengan PCT dan IL-6 * Systemic Inflammatory Response Syndrome(4)
Gambar 13 PCT dibandingkan IL-6 dan IL-8
Kurva Receiver operating characteristics (ROC) dibandingkan serum procalcitonin (PCT), interleukin 6 (IL-6) dan interleukin 8 (IL-8) untuk mendeteksi sepsis di ICU(4)
Gambar 14a, b: Diagnosis beratnya penyakit (Peningkatan disfungsi organ) dengan PCT dan CRP(4)
Tabel 2. Perbandingan PCT, IL-8, IL-6, IL-2, TNF-a, CRP sebagai parameter untuk memprediksi sepsis (9)
Muller dan koleganya meneliti 101 pasien dirawat di ICU medis dan menyarankan bahwa PCT merupakan penanda lebih baik untuk sepsis daripada CRP, IL-6 dan tingkat laktat. Untuk menilai nilai diagnostik PCT, IL-6, IL-8 dan standar untuk mengidentifikasi pasien yang sakit kritis dengan SIRS dan dicurigai sepsis, pengukuran calon diambil pada 78 pasien berturut-turut dengan SIRS akut dan dicurigai infeksi . PCT menghasilkan nilai tertinggi untuk membedakan pasien dengan SIRS dari mereka yang sepsis, diikuti oleh IL-6 dan-8 [6 IL]. (9, 19)
KESIMPULAN
Pada klinis yang berhubungan dengan infeksi bakteri, Procalcitonin (PCT) diproduksi pada jalur alternatif pada jaringan parenkim dan dieksresikan pada sirkulasi darah. Jalur ini dihambat oleh infeksi virus sehingga PCT merupakan marker spesifik untuk infeksi bakteri.(4)
Procalcitonin merupakan prohormon calcitonin, mengandung 3 fragmen, yaitu: a. fragmen N terminal aminoprocalcitonin (57 asam amino), b. calcitonin (32 asam amino) terletak pada pusat peptida, dan c. calcitonin carboxyterminal peptide-1 (CC-1) atau katacalcin (21 asam amino) pada ujung terminal karboksil. PCT sebagai petanda infeksi menampilkan siasat baru dalam mendiagnosis sepsis. PCT secara umum memberikan sensitivitas dan spesifisitas lebih baik daripada CRP untuk mendiagnosis infeksi dan merupakan petunjuk prognostik yang lebih baik dibandingkan dengan CRP Setelah rangsangan bakteri, kadar PCT meningkat lebih cepat dibandingkan dengan CRP. Kegunaan pengukuran serum PCT sebagai petanda infeksi bisa diringkas sebagai berikut:
1) PCT dapat membedakan antara infeksi dan non infeksi pada SIRS,
2) PCT dapat membedakan antara sepsis bakteri dan virus,
3) Cut off PCT memberikan sensitifitas dan spesifisitas optimum untuk mendiagnosis infeksi beragam dengan keadaan yang berbeda,
4) Pengaruh obat antimikroba,vasoaktif dll. terhadap PCT sangat rendah.
Pada infeksi lokal, tidak ada peningkatan kadar PCT, penurunan yang tajam kadar PCT terhadap terapi antibiotika tidak secara langsung menyatakan penghilangan infeksi, tetapi semata-mata merupakan tanggapan sistemik yang terkendali. PCT diukur dalam serum menggunakan pemeriksaan imunoluminometrik. Pemeriksaan menggunakan dua antibodi monoklonal antigenspesifik yang berdaya lacak pemeriksaan 0,1 ng/ml. Pada orang sehat kadar PCT < 0,1 mg/ml dan meningkat pada penderita yang terinfeksi bakteri.(2,20)
Langganan:
Postingan (Atom)