Jumat, 03 Desember 2010

LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK

PENDAHULUAN
Lupus eritematosus sistemik (LES) adalah prototipe penyakit autoimun yang ditandai oleh produksi antibodi terhadap komponen-komponen inti sel yang melibatkan berbagai organ dengan manifestasi klinis yang bervariasi dari yang ringan sampai berat. Pada keadaan awal, sering sekali sukar dikenal sebagai LES, karena manifestasinya sering  tidak  terjadi bersamaan.
Penyakit lupus eritematosus termasuk penyakit kolagen, penyakit kolagenosis, penyakit mesenkhim. Menurut klasifikasi oleh KLEMPERER, yang termasuk golongan tersebut selain lupus eritematosus antara lain ; skleroderma, dermatomiositis, arthritis rematika, demam rematik dan poliarthritis. Klasifikasi tersebut berdasarkan atas degenerasi fibrinoid serat-serat kolagen yang luas yang terdapat di dalam jaringan mesenkhm. Kelainan serat kolagen dan serat fibrin menimbulkan manifestasi klinis yang berlainan. Yang sama ialah, bahwa semua penyakit pada golongan ini merupakan satu kompleks respon autoimun, disini hanya akan dibahas lupus eritematosus sistemik (1).
Lupus sebernanya telah dikenal kurang dari seabad lalu. Kala itu, penyakit itu dikira gigitan anjing hutan. Dugaan itulah yang menyebabkan penyakit ini kemudian disebut lupus yang berarti anjing hutan dalam bahasa latin. Dalam perkembangan selanjutnya, lupus menyebar ke seluruh organ di dalam tubuh, maka muncullah sebutan lupus eritematosus sistemik (LES) itu (2).
Perjalanan penyakit ini dapat ringan atau berat, secara terus menerus, dengan kekambuhan yang menimbulkan kerusakan jaringan akibat proses radang yang ditimbulkannya. Sekitar 80 % kelainan melibatkan jaringan persendian, kulit dan darah ; 30-50 % menyebabkan kelainan ginjal, jantung dan sistem saraf, serta 10-20 % menyebabkan trombosis arteri dan vena yang berhubungan dengan anti-bodi anti-kardiolipin 1,2,4,5 α. Prevalensi lupus eritematosus sistemik di antara etnik adalah wanita kulit hitam 1 : 250, wanita kulit putih 1 : 4300 dan wanita cina 1 : 10001,2 α (3).

II.     EPIDEMIOLOGI
Sembilan puluh persen pasien LES adalah wanita usia produktif. puncak insidensinya usia antara 15- 40, dengan perbandingan pria dan wanita 6-10:1. Namun untuk onset dapat bervariasi mulai dari bayi sampai dengan usia lanjut, dan pada kelompok usia ini perbandingan antara pria dan wanita adalah 2:1. Pada populasi secara keseluruhan LES mengenai sekitar 1: 2000 orang, dan bervariasi dipengaruhi jenis kelamin, ras, etnis, dan status sosial ekonomi. Di Amerika Serikat prevalensi LES sekitar 15-50 per 100.000 orang, dengan prevalensi tertinggi pada etnik African Americans. LES berkaitan erat dengan hubungan kekerabatan, frekuensinya lebih tinggi pada kerabat dekat pasien (seperti: kakak, adik, ibu).  Penyakit ini terjadi pada kembar monozigot sekitar 25%-50% dan 5% pada kembar dizigot. Pada hubungan kekerabatan yang jauh, LES berkaitan dengan penyakit autoimmun lainnya seperti anemia hemolitik, tiroiditis, dan ITP. Namun LES dapat pula tidak terkait secara herediter.
Prevalensi LES di Indonesia belum dapat dipastikan secara tepat, karena sistem pelaporan masih berupa laporan kasus dengan jumlah penderita terbatas. Insidensi LES dalam kurun waktu tahun 1971-1975 di RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta sebesar 15 kasus per 10.000 penderita yang dirawat (Nasution & Kasjmir, 1995), kemudian meningkat menjadi 37,7 kasus per 10.000 penderita yang dirawat dalam kurun waktu 1988-1990. Insidensi LES di Yogyakarta dalam kurun waktu tahun 1983-1986 sebesar 10,1 kasus per 10.000 penderita yang dirawat. Insidensi LES di Medan dalam kurun waktu tahun 1984-1986 sebesar 1,4 kasus per 10.000 penderita  yang  dirawat  (Albar, 1996).
Insidensi  LES  di Perjan RS Dr. Hasan Sadikin Bandung pada perode Juli 1999 sampai dengan Juni 2000 sebesar 32 kasus dari 292 kasus penyakit rematik (10,96%), dengan rasio wanita dibanding dengan pria 29:3 (9,7:1). Jumlah penderita LES yang berobat di poli rawat jalan ada 20 orang (62,5%), 17 wanita dan 3  pria. Jumlah penderita LES yang menjalani rawat inap ada 12 orang (37,5% penderita LES) atau 66,67% dari kasus penyakit rematik yang dirawat di Perjan RS Dr. Hasan Sadikin Bandung dan semuanya adalah wanita.  Dimana dari 12 Orang yang dirawat, 10 orang karena flare up dan 2 karena infeksi (TB dan pneumonia). Dari 10 kasus flare up yang dirawat, 6 kasus nefritis lupus, 3 kasus CNS lupus, 1 kasus anemia hemolitik.
III.     ETIOLOGI
Etiologi lupus secara pasti masih belum jelas. Menurut anggapan sekarang penyakit LES dapat ditimbulkan karena gangguan sistem imun pada sel B dan sel T, atau pada interaksi antara kedua sel tersebut. Hal tersebut akan menyebabkan aktivasi sel-sel B poliklonal, akibatnya terjadi pembentukan autoantibodi secara berlebihan. Autoantibodi adalah antibodi patologik yang terbentuk akibat sistem imun tubuh tidak dapat membedakan antara  self  dan  nonself. Selain itu banyak faktor lain yang berperan terhadap timbulnya penyakit LES, antara lain faktor genetik, defisiensi komplemen, hormon, lingkungan, stress, obat-obatan dan faktor-faktor lain.
1. Predisposisi Genetik
Predisposisi genetik merupakan faktor terpenting pada terjadinya LES.  Kurang lebih 75 % LES dari berbagai etnik mempunyai  kelompok  HLA : DR2, DR3, DR4, atau DR8. Beberapa gen  pada orang Afrika – Amerika  berhubungan  dengan LES yaitu Fcy reseptor IIA, IIIA dan RHB yang berpredisposisi terjadinya nefritis lupus.
Beberapa peneliti menemukan adanya hubungan antara penyakit LES dengan gen Human Leukocyte Antigen (HLA) seperti DR2, DR3 dari Major Histocompatibility Complex (MHC) kelas II. Individu dengan gen HLA DR2 dan DR3 mempunyai risiko relatif menderita penyakit LES 2-3 kali lebih besar daripada yang mempunyai gen HLA DR4 dan HLA DR5. Peneliti lain menemukan bahwa penderita penyakit LES yang mempunyai epitop antigen HLA-DR2 cenderung membentuk autoantibodi anti-dsDNA, sedangkan penderita yang mempunyai epitop HLA-DR3 cenderung membentuk autoantibodi anti-Ro/SS-A dan anti-La/SS-B. Penderita penyakit LES dengan epitop-epitop HLA-DR4 dan HLA-DR5 memproduksi autoantibodi anti-Sm dan anti-RNP.
2.  Defisiensi komplemen
Pada penderita penyakit LES sering ditemukan defisiensi komplemen C3 dan atau C4, yaitu pada penderita penyakit LES dengan manifestasi ginjal. Defisiensi komplemen C3 dan atau C4 jarang ditemukan pada penderita penyakit LES dengan manifestasi pada kulit dan susunan saraf pusat. Individu yang mengalami defek pada komponen-komponen komplemennya, seperti Clq, Clr, Cls mempunyai predisposisi menderita penyakit LES dan nefritis lupus. Defisiensi komplemen C3 akan menyebabkan kepekaan terhadap infeksi meningkat, keadaan ini merupakan predisposisi untuk timbulnya penyakit kompleks imun. Penyakit kompleks imun selain disebabkan karena defisiensi C3, juga dapat disebabkan karena defisiensi komplemen C2 dan C4 yang terletak pada MHC kelas II yang bertugas mengawasi interaksi sel-sel imunokompeten yaitu sel Th dan sel B. Komplemen berperan dalam sistem pertahanan tubuh, antara lain melalui proses opsonisasi, untuk memudahkan eliminasi kompleks imun oleh sel karier atau makrofag. Kompleks imun akan diikat oleh reseptor komplemen (Complement receptor = C-R) yang terdapat pada permukaan sel karier atau sel makrofag. Pada defisiensi komplemen, eliminasi kompleks imun terhambat, sehingga jumlah kompleks imun menjadi berlebihan dan berada dalam sirkulasi lebih lama.
3.  Hormon
Pada individu normal, testosteron berfungsi mensupresi sistem imun sedangkan estrogen memperkuat sistem imun. Predominan lupus pada wanita dibandingkan pria memperlihatkan adanya pengaruh hormon seks dalam patogenesis lupus. Pada percobaan di tikus dengan pemberian testosteron mengurangi lupus-like syndrome dan pemberian estrogen memperberat penyakit.
4.  Lingkungan
 Pengaruh fisik (sinar matahari), infeksi (bakteri, virus, protozoa), dan obat-obatan dapat mencetuskan atau memperberat penyakit autoimun. Mekanismenya dapat melalui aktivasi sel B poliklonal atau dengan meningkatkan ekspresi MHC kelas I atau II.
5. Obat-obatan
Beberapa macam obat telah diketahui menyebabkan timbulnya gejala klinik yang menyerupai penyakit LES ini.  Obat-obatan yang telah disepakati berhubungan erat dengan kejadian lupus ini diantaranya : Carbamazepine, Chlorpromazine, Diphenylhydantoin, Ethosuximide, Hydralazine, Isoniazid, Methyldopa, Penicillamine, Procainamide, Quinidine, dan Sulfasalazine. Obat-obat tersebut diduga dapat bereaksi dengan antigen DNA atau histon dan menyebabkan antigen-antigen tersebut menjadi lebih imunogenik.
6.  Stres
Stres mempengaruhi respon imun dan sistem saraf pusat. Sistem imun seperti halnya sistem yang mempertahankan homeostasis tubuh lainnya, terintegrasi dalam proses-proses fisiologis lain dan dimodifikasi oleh otak.  Faktor-faktor lain seperti usia, neoplasia, gizi dapat berpengaruh terhadap penyakit autoimun. Diduga faktor-faktor tersebut dapat menimbulkan aktivasi poliklonal sel B.
IV.    PATOGENESIS
    Adanya satu atau beberapa factor pemicu yang tepat pada individu yang mempunyai predisposisi genetic akan menghasilkan tenaga pendorong abnormal terhadap sel T CD4+ mengakibatkan hilangnya toleransi sel T terhadap self antigen. Sebagai akibat muncullah sel T autoreaktif yang akan menyebabkan induksi serta ekspansi sel B, baik yang memproduksi autoantibody maupun yang berupa sel memori. Wujud pemicu ini masih belum jelas. Sebagian yang diduga termasuk di dalamnya adalah hormone seks, sinar ultraviolet dan berbagai macam infeksi.
    Pada LES, autoantibody yang terentuk ditujukan terhadap antigen yang terutama terletak pada nukleoplasma. Antigen sasaran ini meliputi DNA, protein histon dan nonhiston. Kebanakan diatranya dalam keadaan alamiah terdapat dalam bentuk agregat protein da atau kompleks protein RNA yang disebut partikel ribonukleoprotein (RNA). Ciri khas autoantigen ini adalah mereka tidak tissue-spesific dan merupakan komponen integral semua jenis sel.
    Antibodi ini secara bersama-sama disebut ANA(anti nuclear antibody). Dengan antigennya yang spesifik, ANA membentuk kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi. Telah ditunjukkan bahwa penanganan kompleks imun pada LES terganggu. Dapat berupa gangguan klirens kompleks imun besar yang larut, gangguan pemrosesan kompleks imun dalam hati dan penurunan auptake kompleks imun pada limpa. Gangguan-gangguan ini memungkinkan terbentuknya deposit kompleks mun diluar sistem fagosit mononuclear. Kompleks imun ini akan mengendap pada berbagai macam organ dengan akibat terjadinya fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan timbulnya keluhan gejala pada organ atau tempat yang bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus, kulit dan sebagainya.
    Bagian yang penting dari pathogenesis LES adalah terganggunya mekanisme regulasi yang dalam keadaan normal mencegah autoimunitas pda individu yang resisten.
V.    DIAGNOSIS
Diagnosis LES dibuat dengan kombinasi data-data temuan klinis, patologi dan laboratorium, berdasarkan kriteria dari American College of Rheumatology (ACR). Kriteria ini semula disusun untuk kriteria inklusi clinical trials dan studi populasi bukan untuk diagnosis.  Kriteria ini mempunyai sensitivitas 90% dan spesifisitas 99% untuk dapat membedakan dengan artritis reumatoid dan penyakit  lainnya.

Kriteria    Batasan     
Malar rash/ Ruam pada wajah    Eritema yang rata atau sedikit menimbul diatas permukaan kulit muka, menyerupai kupu-kupu, biasanya tidak mengenai plika nasolabialis
     
Ruam discoid    Eritema yang rata atau sedikit menimbul diatas permukaan kulit muka, menyerupai kupu-kupu, biasanya tidak mengenai plika nasolabialis
     
Fotosensitif    Ruam kulit timbul sebagai reaksi hipersensitivitas terhadap sinar matahari, diperoleh dari anamnesis atau pemeriksaan fisik.
     
Ulserasi oral atau nasofaring    Biasanya tidak terasa nyeri, didapatkan dari pemeriksaan fisik
     
Artritis    Artritis non erosif mengenai  2 sendi atau lebih, bengkak dan terasa nyeri atau terdapat efusi sinovial.
     
Pleuritis atau perikarditis    a. Pleuritis-riwayat nyeri pleuritik atau pleuritic friction rub yang didengar oleh do kter pemeriksa atau bukti efusi pleura
b. Perikarditis dengan bukti rekaman EKG atau pericardial friction rub yang didengar oleh dokter pemeriksa atau bukti efusi perikard
     
Gangguan renal    a. proteinuria menetap > 0,5 gram perhari atau positif – 3 atau
b. Cetakan seller- berupa eritrosit, hemoglobin, granular, tubular atau gabungan     
Gangguan neurologi    a.Kejang – tanpa disebabkan oleh obat-obatan dan gangguan metabolic  misalnya  uremia,ketoasidosis atau ketidak seimbangan elektrolit atau
b. Psikosis tanpa disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan metabolic misalnya uremia, ketoasidosis, atau ketidakseimbangan elektrolit.     
Gangguan hematologik    a. anemia hemolitik dengan retikulosis
b.leukopenia -<4000/mm pada dua kali pemeriksaan atau
c.limfopenia -< 1500/ mm pada dua kali pemeriksaan atau
d.trombositopenia -<100.000 tanpa disebabkan oleh obat-obatan     
Gangguan imunologik    a. anti DNA : antibodi terhadap native DNA dengan titer yang abnormal atau
b.anti Sm : terdapatnya antibodi  trhadap antigen nukleat Sm atau
c. Temuan positif terhadap antibodi antifosfolipid yang didasarkan atas : 1) kadar serum anti kardiolipin abnormal baik IgG atau IgM 2) tes lupus antikoagulan positif menggunakan metode standar atau 3) hasil tes positif palsu  paling tidak selama 6 bulan dan dikonfirmasi dengan test immobilisasi Treponema pallidum atau tes fluoresensi absorbs antibode treponemal.     
 Antibodi antinuclear positif (ANA)    Titer abnormal dari antibodi antinuclear berdasarkan pemeriksaan imunofluoresensi atau pemeriksaan setingka pada setiap waktu perjalanan penyakit tanpa keterlibatan obat    








Untuk mempermudah kita dalam mengingat kriteria diagnosis LES dari ACR dibuat singkatan DOPAMIN RASH yaitu: Discoid rash, Oral ulcers, Photosensitivity, Arthritis, Malar rash, Immnunologic disorder, Neurologic disorder, Renal disorder, Antinuclear antibody, Serositis, Hematologic disorder.
VI.     PENGOBATAN
    Nonfarmakologis
1.  Edukasi
Edukasi penderita memegang peranan penting mengingat SLE merupakan penyakit  yang kronis. Penderita perlu dibekali informasi yang cukup tentang berbagai macam manifestasi klinis yang dapat terjadi, tingkat keparahan penyakit yang berbeda-beda sehingga penderita dapat memahami dan mengurangi rasa cemas yang berlebihan. Pada wanita usia reproduktif sangat penting diberikan pemahaman bahwa bila akan hamil maka sebaiknya kehamilan direncanakan saat penyakit sedang remisi, sehingga dapat mengurangi kejadian flare up dan risiko kelainan pada janin maupun penderita selama hamil.
2. Dukungan sosial dan psikologis
Hal ini bisa berasal dari dokter, keluarga, teman maupun mengikut sertakan peer group atau support group sesama penderita lupus. Di Indonesia ada 2 organisasi pasien Lupus, yakni care for Lupus SD di Bandung dan Yayasan Lupus Indonesia di Jakarta. Mereka bekerjasama melaksanakan kegiatan edukasi pasien dan masyarakat mengenai lupus. Selain itu merekapun memberikan advokasi dan bantuan finansial untulk pasienyang kurang mampu dalam pengobatan.
3.   Istirahat
Penderita SLE sering mengalami fatigue sehingga perlu istirahat yang cukup, selain perlu dipikirkan penyebab lain seperti hipotiroid, fibromialgia dan depresi.
4.   Tabir surya
Pada penderita SLE aktifitas penyakit dapat meningkat setelah terpapar sinar matahari, sehingga dianjurkan untuk menghindari paparan sinar matahari yang berlebihan dan menggunakan tabir surya dengan SPF > 30 pada 30-60 menit sebelum terpapar, diulang tiap 4-6 jam.
5.  Monitor ketat
Penderita SLE mudah mengalami infeksi sehingga perlu diwaspadai bila terdapat demam yang tidak jelas penyebabnya. Risiko infeksi juga meningkat sejalan dengan pemberian obat immunosupresi dan kortikosteroid. Risiko kejadian penyakit kejadian kardiovaskuler, osteoporosis dan keganasan juga meningkat pada penderita SLE, sehingga perlu pengendalian  faktor risiko seperi merokok, obesitas, dislipidemia dan hipertensi.
Farmakologis
Terapi Imunomodulator
1.  Siklofosfamid
Merupakan obat utama pada gangguan sistem organ yang berat, terutama nefropati lupus. Pengobatan dengan kortikosterod dan siklofosfamid (bolus iv 0,5-1 gram/m2) lebih efektif dibanding hanya kortikosteroid saja, dalam pencegahan sequele ginjal, mempertahankan fungsi ginjal dan menginduksi remisi ginjal. Manifestasi non renal yang efektif dengan siklofosfamid adalah sitopenia, kelainan sistem saraf pusat, perdarahan paru dan vaskulitis.
Pemberian per oral dengan dosis 1-1,5 mg/kgBB dapat ditingkatkan sampai 2,5-3 mg/kgBB dengan kondisi neutrofil > 1000/mm3 dan leukosit > 3500/mm3. Monitoring jumlah leukosit dievaluasi tiap 2 minggu dan terapi intravena dengan dosis 0,5-1 gram/m2 setiap 1-3 bulan.
Efek samping yang sering terjadi adalah mual, muntah, kadang dapat ditemukan rambut rontok namun hilang bila obat dihentikan. Leukopenia dose-dependent biasanya timbul setelah 12 hari pengobatan sehingga diperlukan penyesuaian dosis  dengan leukosit. Risiko terjadi infeksi bakteri, jamur dan virus terutama Herpes zoster meningkat. Efek samping pada gonad yaitu menyebabkan kegagalan fungsi ovarium dan azospermia. Pemberian hormon Gonadotropin releasing hormone atau kontrasepsi oral belum terbukti efektif. Pada penderita SLE dengan nefropati lupus yang mengalami kehamilan obat golongan ini sebaiknya dihindarkan.

2.  Mycophenolate mofetil (MMF)
MMF merupakan inhibitor reversibel inosine monophosphate dehydrogenase, yaitu suatu enzim yang penting untuk sintesis purin. MMF akan mencegah proliferasi sel B dan T serta mengurangi ekspresi molekul adhesi. MMF secara efektif mengurangi proteinuria dan memperbaiki kreatinin serum pada penderita SLE dan nefritis yang  resisten terhadap siklofosfamid. Efek samping yang terjadi umumnya adalah leukopenia, nausea dan diare. Kombinasi MMF dan Prednison sama efektifnya dengan pemberian siklosfosfamid oral dan prednison yang dilanjutkan dengan azathioprine dan prednisone. MMF diberikan dengan dosis 500-1000 mg dua kali sehari sampai adanya respons terapi dan dosis obat disesuaikan dengan respons tersebut. Pada penderita SLE dengan nefropati lupus yang mengalami kehamilan obat golongan ini sebaiknya dihindarkan.

3.  Azathioprine
Azathioprine adalah analog purin yang menghambat sintesis asam nukleat dan mempengaruhi fungsi imun seluler dan humoral. Pada SLE obat ini digunakan sebagai  alternatif siklofosfamid untuk pengobatan lupus nefritis atau sebagai steroid sparing agent untuk manifestasi non renal seperti miositis dan sinovitis yang refrakter. Pemberian mulai dengan dosis 1,5 mg/kgBB/hari, jika perlu dapat dinaikkan dengan interval waktu 8-12 minggu menjadi 2,5-3 mg/kgBB/hari dengan syarat jumlah leukosit > 3500/mm3 dan metrofil > 1000. Jika diberikan bersamaan dengan allopurinol maka dosisnya harus dikurangi menjadi 60-75%. Efek samping yang terjadi lebih kuat dibanding siklofosfamid, yang biasanya terjadi yaitu supresi sumsum tulang dan gangguan gastrointestinal. Azathioprine juga sering dihubungkan dengan hipersensitifitas dengan manifestasi demam, ruam di kulit dan peningkatan serum transaminase. Keluhan biasanya bersifat reversibel dan menghilang setelah obat dihentikan. Oleh karena dimetabolisme di hati dan dieksresikan di ginjal  maka fungsi hati dan ginjal harus diperiksa secara periodik. Obat ini merupakan pilihan imunomodulator pada penderita nefropati lupus yang hamil, diberikan dengan dosis 1-1,5 mg/kgBB/hari karena relatif aman.

4.   Leflunomide (Arava)
Leflunomide merupakan suatu inhibitor de novo sintesis pyrimidin yang disetujui pada pengobatan rheumatoid arthritis. Beberapa penelitian telah melaporkan keuntungan pada pasien SLE yang pada mulanya diberikan karena ketergantungan steroid. Pemberian dimulai dengan loading dosis 100 mg/hari untuk 3 hari kemudian diikuti dengan 20 mg/hari.

5.   Methotrexate
Methotrexate diberikan dengan dosis 15-20 mg peroral satu kali seminggu, dan terbukti efektif terutama untuk keluhan kulit dan sendi. Efek samping yang biasa terjadi adalah peningkatan serum transaminase, gangguan gastrointestinal, infeksi dan oral ulcer, sehingga perlu dimonitor ketat fungsi hati dan ginjal.  Pada penderita SLE dengan nefropati lupus yang mengalami kehamilan obat golongan ini sebaiknya dihindarkan.

6.   Siklosporin
Pemberian siklosporin dosis 2,5-5 mg/kgBB/hari pada umumnya dapat ditoleransi dan menimbulkan perbaikan yang nyata terhadap proteinuria, sitopenia, parameter imunologi (C3, C4, anti-ds DNA) dan aktifitas penyakit. Jika kreatinin meningkat lebih dari 30% atau timbul hipertensi maka dosisnya  harus disesuaikan efek samping yang sering terjadi adalah hipertensi, hiperplasia gusi, hipertrikhosis, dan peningkatan kreatinin serum. Siklosporin terutama bermanfaat  untuk nefritis membranosa dan untuk sindroma nefrotik yang refrakter, sehingga monitoring tekanan darah dan fungsi  ginjal harus dilakukan secara rutin. Siklosporin A dapat diberikan pada penderita nefropati lupus yang hamil, diberikan dengan dosis 2 mg/kgBB/hari karena relatif aman.

Agen Biologis

1. Aktivasi sel T, interaksi sel T dan sel B, deplesi sel B
Perkembangan terapi terakhir telah memusatkan perhatian terhadap fungsi sel B dalam mengambil autoAg dan mempresentasikannya melalui immunoglobulin spesifik terhadap sel T di permukaan sel, selanjutnya mempengaruhi respons imun dependen sel T. Anti CD 20 adalah suatu antibodi monoklonal yang melawan reseptor CD 20 yang  dipresentasikan limfosit B.
2.   Anti CD 20
Anti CD 20 (Rituximab; Rituxan) memiliki pontensi terapi untuk SLE yang refrakter. Beberapa penelitian memberikan keberhasilan terapi pada manifestasi lupus refrakter seperti sistem saraf pusat, vaskulitis dan gangguan hematologi.
3.   LJP 394
LJP 394 (Abetimus sodium; Riquent) telah didisain untuk mencegah rekurensi flare renal pada pasien nefritis dengan cara mengurangi antibody terhadap ds-DNA melalui toleransi spesifik antigen secara selektif. Substansi ini merupakan suatu senyawa sintetik yang terdiri dari rangkaian deoksiribonukleotida yang terikat pada rantai trietilen glikol.
4.   Anti B lymphocyte stimulaton
Stimulator limfosit B (BlyS) merupakan bagian dari sitokin TNF (tumor necrosis factor), yang mempresentasikan sel B. LymphoStatB merupakan antibod monoklonal  terhadap BlyS.
5.   Sitokin inhibitor
Meskipun telah ada penelitian yang menunjukkan penurunan sekresi TNF alfa dan meliorasi leukopenia, proteinuria dan deposisi imun kompleks pada binatang percobaan, namun tidak ada studi klinis agen anti TNF yang diberikan pada penderita SLE.
6.   Anti malaria
Obat anti malaria yang digunakan pada SLE adalah hidroksiklorokuin, klorokuin, dan quinakrin. Digunakan untuk keluhan konstitusional, manifestasi di kulit, musculoskeletal dan serositis. Kombinasi obat antimalaria memiliki efek sinergis dan digunakan bila penggunaan satu macam obat tidak efektif. Hidroksiklotokuin (200–400 mg/hari) dan  Quinakrin (100 mg/hari) sebagai steroid sparing agent memiliki efek samping yang ringan dan reversibel, yaitu perubahan warna kulit menjadi kekuningan.
Mekanisme bagaimana hidroksiklorokuin mencegah kerusakan organ belum jelas. Hidroksiklorokuin menurunkan kadar lipid dan kemungkinan anti trombotik. Yang perlu diperhatikan adalah efek samping pada mata meskipun relatif aman bila digunakan pada dois rendah (< 6,5 mg/kgBB/hari). Namun demikian rekomendasi saat ini adalah melakukan pemeriksaan mata sebelum mulai pengobatan dan setiap 6 – 12 bulan kemudian. Antimalaria jarang sekali menyebabkan kelainan kongenital pada  janin.  Oleh karena itu direkomendasaikan untuk diberikan juga pada penderita nefropati lupus yang hamil dan dapat diberikan sampai masa menyusui.  Kejadian IUGR juga berkurang dengan pemberian hidroksiklorokuin.
Hormon Seks
Bromokriptin yang secara selektif menghambat hipofise anterior untuk mensekresi prolaktin terbukti bermanfaat mengurangi aktifitas penyakit SLE. Dehidroepiandrosteron (DHEA) bermanfaat untuk SLE dengan aktifitas ringan sampai sedang. Danazole (sintetik steroid) dengan dosis 400-1200 mg/hari bermanfaatuntuk mengontrol sitopenia autoimun terutama trombositopeni dan anemia hemolitik. Estrogen replacement therapy (ERT) dapat dipertimbangkan pada pasien-pasien SLE yang mengalami menopause, namun masih terdapat perdebatan mengenai kemampuan kontraseptif oral atau ERT dalam menimbulkan flare SLE. Untuk itu terapi ini harus ditunda pada pasien dengan riwayat trombosis.
Kortikosteroid
Kortikosteroid efektif untuk menangani berbagai macam manifestasi klinis SLE. Sediaan topikal atau intralesi digunakan untuk lesi kulit, sediaan intra artikular digunakan untuk artritis, sedangkan sediaan oral atau parenteral untuk kelainan sistemik. Pemberian per oral dosisnya bervariasi dari 5-30 mg prednison (metilprednisolon) per hari secara tunggal atau dosis terbagi, efektif untuk mengobati keluhan konstitusional, kelainan kulit, arthritis dan serositis. Seringkali kortikosteroid diberikan bersamaan dengan antimalaria atau imunomodulator dengan tujuan untuk mendapatkan induksi yang cepat kemudian diturunkan dosisnya. Adanya keterlibatan organ penting seperti nefritis, cerebritis, kelainan hematologi atau vaskulitis sistemik, umumnya memerlukan prednison dosis tinggi (1-2 mg/kgBB/hari). Kortikosteroid parenteral juga dapat digunakan pada keadaan yang sangat berat, mengancam jiwa, dengan dosis metilprednisolon bolus 1000 mg selama 3 hari berturut-turut.
            Efek yang tidak dikehendaki pada pemberian glukokortikoid lama antara lain habitus cushingoid, peningkatan berat badan, hipertensi, infeksi, fragilitas kapiler, akne, hirsutism, percepatan osteoporosis, nekrosis iskemi tulang, katarak, glaucoma, diabetes mellitus, myopati, hipokalemia, menstruasi yang tidak teratur, iritabilitas, insomnia, dan psikosa. Oleh karenanya setelah aktifitas penyakit terkontrol, dosis kortikosteroid harus segera diturunkan atau kalau mungkin dihentikan atau diberikan dalam dosis terkecil selang sehari.
Untuk meminimalisasi osteoporosis, dapat diberikan suplemen kalsium 1000 mg/ hari pada pasien dengan eksresi kalsium urin 24 jam lebih dari 120 mg. Diberikan pula vitamin D 50.000 unit 1-3 kali seminggu (monitor hiperkalsemia). Dalam mencegah osteoporosis dapat pula diberikan kalsitonin dan bifosfonat (alendronat, didronel atau actonel). Kortikosteroid pada umumnya dapat ditoleransi dengan baik selama kehamilan meskipun dapat menimbulkan eksaserbasi diabetes dan hipertensi. Tidak terdapat bukti bahwa kortikosteroid menyebabkan defek kongenital tetapi mungkin dapat menyebabkan berat badan bayi lahir rendah dan ketuban pecah dini.
NSAID (Non Steroid Anti Inflammatory Drug)
NSAID digunakan untuk mengatasi keluhan nyeri muskuloskeletal, pleuritis, perikarditis dan sakit kepala. Efek samping NSAID pada ginjal, hati, sistem saraf pusat harus dibedakan dengan aktifitas lupus yang menghebat. Adanya proteinuria yang baru timbul atau perburukan fungsi ginjal dapat disebabkan oleh aktifitas SLE atau efek NSAID. NSAID juga dapat menyebabkan meningitis aseptik, sakit kepala, psikosis dan gangguan kognitif, meningkatkan serum transaminase secara reversibel. Gangguan gastrointestinal merupakan efek samping paling sering ditimbulkan oleh inhibitor COX non-selektif. Inhibitor COX-2 selektif lebih sedikit efek sampingnya pada gastrointestinal. Pada penderita SLE dengan nefropati lupus yang mengalami kehamilan obat golongan ini sebaiknya dihindarkan karena dapat mengakibatkan kelainan kongenital dan dieksresikan dalam air susu.

Plasmaferesis
Peranan plasmaferesis pada nefropati lupus masih kontroversi. Indikasinya adalah  kasus lupus disertai krioglobulinemia, sindroma hiperviskositas dan TTP (Thrombotyc Thrombocytopenic Purpura).

Immunoglobulin Intravena
Immunoglobulin intravena (IV Ig) adalah imunomodulator dengan mekanisme kerja yang luas, meliputi blokade reseptor Fc, regulasi komplemen dan sel T. Tidak seperti immunosupresan, IV Ig tidak mempunyai efek meningkatkan risiko terjadinya infeksi. Dosis 400 mg/kgBB/hari selama 5 hari berturut-turut memberikan perbaikan pada trombositopeni, artritis, nefritis, demam, manifestasi kulit dan parameter immunologis. Efek samping yang terjadi adalah demam, mialgia, sakit kepala dan artralgia, serta kadang meningitis aseptik. Kontraindikasi diberikan pada penderita SLE dengan defisiensi IgA.
Baik untuk SLE ringan atau sedang dan berat, diperlukan gabungan strategi pengobatan atau disebut pilar pengobatan. Pilar pengobatan SLE ini seyogyanya dilakukan secara bersamaan dan berkesinambungan agar tujuan pengobatan tercapai. Perlu dilakukan upaya pemantauan penyakit mulai dari dokter umum di perifer sampai ke tingkat dokter konsultan, terutama ahli reumatologi. Juga diperlukan mekanisme rujukan yang dimulai dari fasilitas kesehatan paling perifer.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar