KARSINOMA NASOFARING
PENDAHULUAN
Di Indonesia, karsinoma nasofaring ( KNF ) merupakan penyakit keganasan yang paling sering ditemukan di bidang penyakit Telinga Hidung Tenggorokan. Dalam urutan 5 besar tumor ganas dengan frekuensi tertinggi, menduduki tempat ke empat setelah karsinoma mulut rahim, payudara dan kulit. Namun penanggulangannya sampai saat ini masih merupakan masalah. Yang menjadi masalah adalah keterlambatan pasien untuk datang berobat. Sebagian besar pasien datang berobat ketika sudah dalam stadium yang lanjut, dimana tumor sudah meluas ke jaringan sekitarnya. Hal ini merupakan penyulit terbesar untuk mendapatkan hasil pengobatan yang sempurna.(1,2,3)
Letak nasofaring yang tersembunyi serta gejala dini yang tidak khas, inilah yang mengakibatkan diagnosis sering terlambat yang menyebabkan tingginya angka kematian karena hampir semua penderita KNF datang pada stadium lanjut. Karsinoma nasofaring disebut juga sebagai “tumor Kanton” (Canton tumor). (1,2,3)
Seperti keganasan yang lain, penyebab penyakit ini belum dapat dipastikan, sehingga pencegahannya sulit. Yang perlu ditekankan adalah usaha ke arah diagnosis dini, yaitu dengan meningkatkan kewaspadaan para dokter serta memberikan penyuluhan kepada masyarakat mengenai penyakit ini, supaya masyarakat mengetahui tanda-tanda stadium awal penyakit dan ke mana mereka harus pergi untuk mendapatkan pertolongan yang tepat dan cepat.(1,2)
Gangguan pendengaran merupakan salah satu gejala dini dari penyakit ini, disamping gejala dini lain yang berupa hidung trsumbat atau hidung keluar darah, tetapi gejala tersebut sering tidak terpikirkan oleh dokter pemeriksa bahwa penyebabnya adalah tumor ganas di nasofaring, sehingga baru di ketahui bila penyakit sudah dalam keadaan lanjut. Gangguan pendengaran kadang-kadang disertai juga keluhan rasa penuh di telinga , telinga berdengung atau rasa nyeri di telinga.(1,2)
Banyak penulis mengatakan, bahwa lokalisasi permulaan tumbuh KNF, tersering di fosa Rosemuller, sebab daerah tersebut merupakan daerah peralihan epitel dimana epitel kuboid berubah menjadi epitel skuamosa.(1,3)
INSIDEN DAN EPIDEMIOLOGI
Karsinoma nasofaring sangat jarang ditemukan di benua Eropa, Amerika maupun Oseania, inisidennya umumnya kurang dari 1/100.000. Insiden di beberapa negara Afrika agak tinggi, sekitar 5-10/100.000 penduduk. Namun relatif sering ditemukan di berbagai negara Asia Tenggara dan China. Di RRC walaupun karsinoma nasofaring relatif sering ditemukan daripada berbagai daerah lain di dunia, tapi mortalitas rata-rata nasional hanya 1,88/100.000 pada pria 2,49/100.000 dan pada wanita 1,27/100.000.(3)
Karsinoma nasofaring dapat terjadi pada segala usia, tapi umumnya menyerang usia 30-60 tahun, menduduki 75-90%. Proporsi pria dan wanita adalah 2-3,8:1.(3)
Insiden karsinoma nasofaring menunjukkan perbedaan ras yang mencolok. Dari ketiga ras besar di dunia, sebagian ras Mongoloid merupakan kelompok insiden tinggi karsinoma nasofaring, di antaranya mencakup orang China di kawasan Selatan China dan di wilayah Asia Tenggara, orang Thailand, orang Singapura, dan orang Eskimo di Amerika Utara dengan insiden tertinggi pada orang China, disusul orang kulit hitam, paling rendah pada orang kulit putih. (1,3)
ETIOLOGI
Terjadinya karsinoma nasofaring multifaktorial, proses patogenesisnya mencakup banyak tahap. Faktor yang mungkin terkait dengan timbulnya karsinoma nasofaring adalah :
Kerentanan genetik
Walaupun karsinoma nasofaring tidak termasuk tumor genetik tapi kerentanan terhadap karsinoma nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu relatif menonjol dan memiliki fenomena agregasi familial.(3)
Ada penelitian yang menunjukkan kromosom pasien karsinoma nasofaring mengalami ketidakstabilan, hingga lebih rentan terhadap serangan berbagai faktor berbahaya dari lingkungan dan timbul berbagai penyakit. (3)
Virus Epstein Barr
Metode imunologi membuktikan bahwa virus Epstein Barr membawa antigen spesifik seperti antigen kapsid virus (VCA), antigen membrane (MA), antigen dini(EA), antigen nuklir (EBNA) dan lain-lain. Virus Epstein Barr memiliki kaitan erat dengan karsinoma nasofaring, alasannya adalah :
Di dalam serum pasien karsinoma nasofaring ditemukan antibodi terkait virus EB( termasuk VCA-IgA, EA-IgA, EBNA, dll), dengan frekuensi positif maupun rata-rata titer geometriknya jelas lebih tinggi dibandingkan orang normal dan penderita karsinoma jenis lain (termasuk karsinoma kepala leher), dan titernya berkaitan positif dengan beban tumor. (3)
Di dalam sel karsinoma nasofaring dapat dideteksi zat petanda virus EB seperti DNA virus dan EBNA. (3)
Epitel nasofaring di luar tubuh bila diinfeksi dengan galur sel mengandung virus EB, ditemukan epitel yang terinfeksi tersebut tumbuh lebih cepat, gambaran pembelahan inti juga banyak. (3)
Dilaporkan virus EB di bawah pengaruh zat karsinogen tertentu dapat menimbulkan karsinoma tak berdiferensiasi pada jaringan mukosa nasofaring fetus manusia. (3)
Oleh karena itu, dalam patogenesis karsinoma nasofaring virus EB sangat mungkin berefek karsinogenesis hanya bila terdapat prakondisi faktor genetik dan atau lingkungan tertentu. (3)
Faktor lingkungan
Menurut laporan luar negeri, orang China generasi pertama (umumnya penduduk Kanton) yang bermigrasi ke Amerika Serikat dan Kanada memiliki angka kematian akibat karsinoma nasofaring 30 kali lebih tinggi dari penduduk kulit putih setempat, sedangkan pada generasi kedua turun menjadi 15 kali, pada generasi ketiga belum ada angka pasti, tapi secara keseluruhan cenderung menurun. Pada masa yang sama, orang kulit putih yang lahir di Asia Tenggara, angka kejadian karsinoma nasofaring meningkat. Sebabnya selain pada sebagian orang terjadi perubahan hubungan darah, jelas faktor lingkungan juga berperan penting. Penelitian akhir-akhir ini menemukan zat berikut berkaitan dengan timbulnya karsinoma nasofaring. (3)
Golongan nitrosamin : zat ini dapat menimbulkan karsinoma pada hewan. Di antaranya dimetilnitrosamin dan dietilnitrosamin yang kandungannya agak tinggi pada ikan asin Guangzhou. (1,3)
Hidrokarbon aromatik : pada keluarga di area insiden tinggi karsinoma nasofaring, kandungan 3,4 benzpiren dalam tiap gram debu asap mencapai 16,83µg, jelas lebih tinggi dari keluarga di area insiden rendah. (3)
Unsur renik : nikel sulfat dapat memacu efek karsinogenesis pada proses timbulnya karsinoma nasofaring pada tikus akibat dinitrosopiperazin dosis kecil. (3)
ANATOMI
Nasofaring terletak di antara basis caranii dan palatum molle, menghubungkan rongga hidung dan orofaring. Rongga nasofaring menyerupai sebuah kubus yang tidak beraturan, diameter atas bawah dan kiri kanan masing-masing sekitar 3 cm, diameter depan belakang 2-3 cm, dapat dibagi anterior, superior, posterior, inferior dan 2 dinding lateral yang simetris bilateral. (3)
Gambar 1. Anatomi Nasofaring (dikutip dari kepustakaan 4)
Dinding supero-posterior. Dinding superior dan posterior bersambung dan miring membentuk lengkungan, di antara kedua dinding tidak terdapat batas anatomis yang jelas, maka secara klinis sering disebut sebagai dinding superior-posterior, yaitu dari batas atas lubang hidung posterior ke posterior, hingga taraf palatum molle. Lapisan submukosa area itu kaya akan jaringan limfatik membentuk tonsil faring, di masa anak hiperlasia nyata membentuk adenoid. Dinding posterior setinggi vertebra servikal 1,2, kedua sisinya adalah batas posterior resesus faringeus. (3)
Dinding lateral mencakup (1) pars anterior tuba timpanofaringeus; (2) area tuba timpanofaringeus, terdapat ostium faringeus tuba timpanofaringeus (membentuk segitiga, sekitar 1 cm dari ujung posterior konka nasalis inferior dan torus tubarius di sebelah posterosuperiornya (terbentuk dari lipatan lempeng kartilago berbentuk segitiga) bersama jaringan ikat di bawahnya membentuk pars kartilago timpanofaringeus; (3) pars posterior tuba timpanofaringeus, yaitu resesus faringeus (disebut juga fossa Rossenmuleri), terletak di sebelah posterosuperior torus tubarius, berhubungan dengan dinding posterior atap nasofaring. Resesus ini dalamnya sekitar 1 cm, membentuk lekukan berbentuk kerucut. (3)
Dinding anterior berbatasan dengan margin superior septum nasalis dan ostium posterior nasalis di kedua sisinya, langsung berhubungan dengan kavum nasalis. (3)
Dinding dasar berbatasan dengan palatum molle dan ismus orofaring dibelakangnya.
Area nasofaring sangat kaya akan saluran limfatik, terutama drainase ke kelenjar limfe faringeal posterior paravertebral servikal (disebut juga kelenjar limfe Rouviere, sebagai kelenjar limfe terminal kelompok profunda servikal yang meliputi : (1) ratai kelenjar limfe jugularis interna ; (2) rantai kelenjar limfe nervi asesorius (terletak dalam segitiga posterior leher); (3) rantai kelenjar limfe arteri dan vena transversalis koli(di fossa supraklavikular). (3)
Nasofaring diperdarahi oleh pembuluh darah yang berasal dari percabangan level I atau level II arteri karotis eksterna, masing-masing adalah : arteri faringeal asendens, cabang terkecil arteri karotis eksterna; (2) arteri palatin asendens, (3) arteri faringea, salah satu cabang terminal dari arteri maksilaris interna; (4) arteri pterigoideus, juga merupakan cabang akhir dari arteri maksilaris interna. (3)
Saraf sensorik yang mempersarafi nasofaring berasal dari nervi glossofaringeal dan vagus. Saraf motorik dari nervus vagus, mempersarafi sebagian otot faring dan palatum molle. (3)
PATOFISIOLOGI
Lokasi predileksi karsinoma nasofaring adalah dinding lateral nasofaring (terutama di resesus faringeus atau lebih dikenal dengan sebutan fossa Rossenmuler) dan dinding superoposterior.(1,3)
Tingkat keganasan karsinoma nasofaring tinggi, tumbuh infiltratif, dapat langsung menginfiltrasi dan berekspansi ke struktur yang berbatasan : ke atas dapat langsung merusak basis cranial, juga dapat melalui foramen sfenotik, foramen ovale, foramen spinosum, kanalis karotis internal atau sinus sphenoid dan selula etmoidal posterior dan lain-lain. Lubang saluran dan retakan alamiah menginfiltrasi intracranial, mengenai saraf cranial : ke anterior menyerang rongga nasal, sinus maksilaris, selula etmoidalis anterior, kemudian ke dalam orbita, juga dapat melalui intrakranium, fissura orbitalis superior atau kanalis pterigoideus, resesus pterigopalatina lalu ke orbita ; ke lateral tumor dapat menginfiltrasi celah parafaring, fossa infratemporal dan kelompok otot pengunyah dan lain-lain ; ke posterior menginfiltrasi jaringan lunak prevertebra servikal, vertebra servikal ; ke inferior mengenai ororfaring, bahkan laringofaring.(3)
Sel karsinoma nasofaring 95% ke atas berdiferensiasi buruk, tingkat keganasan tinggi. Perbandingan klasifikasi standar diagnosis dan terapi karsinoma nasofaring China dan klasifikasi histologik karsinoma nasofaring WHO.(3)
Standar diagnosis dan terapi Klasifikasi WHO
Karsinoma sel skuamosa diferensiasi baik Karsinoma sel skuamosa keratinisasi
Karsinoma sel skuamosa diferensiasi sedang Karsinoma non keratinisasi berdiferensiasi
Karsinoma sel skuamosa diferensiasi buruk Karsinoma tak berdiferensiasi
Karsinoma sel inti vesicular
Karsinoma tak berdiferensiasi
DIAGNOSIS
Gambaran Klinis
Gejala dan tanda yang sering ditemukan pada karsinma nasofaring adalah :
Epistaksis
Sekitar 70% pasien mengalami gejala epistaksis, diantaranya 23% pasien yang datang berobat dengan gejala awal ini. Sewaktu menghisap sekret dari rongga hidung atau nasofaring dengan kuat, bagian dorsal palatum molle bergesekan dengan permukaan tumor, sehingga pembuluh darah di permukaan tumor robek dan menimbulkan epistaksis.(1,3)
Hidung tersumbat
Hidung tersumbat disebabkan karena tumor menyumbat lubang hidung posterior. (3)
Tinitus dan pendengaran menurun
Penyebabnya adalah tumor di resesus faringeus dan dinding lateral nasofaring menginfiltrasi, menekan tuba eustachii, menyebabkan tekanan negatif di dalam cavum timpani, hingga terjadi otitis media transudatif. Menurunnya kemampuan pendengaran karena hambatan konduksi, umumnya disertai rasa penuh di telinga. (3)
Sefalgia
Kekhasannya adalah nyeri kontinu di region temporoparietal atau oksipital satu sisi. Ini sering disebabkan desakan tumor, infiltrasi saraf cranial atau os basis cranial, juga mungkin karena infeksi lokal atau iritasi pembuluh darah yang menyebabkan sefalgia reflektif. (3)
Rudapaksa nervus kranialis
Karsinoma nasofaring menginfiltrasi dan ekspansi secara langsung ke superior, dapat mendestruksi tulang basis cranii atau melalui saluran atau celah alami cranium masuk ke are petrosfenoid dari fossa media intrakranial (termasuk foramen sfenotik, apeks petrosus os temporal, foramen ovale dan area sinus spongiosus), membuat nervus cranialis III, IV, V (radiks 1,2) dan VI mengalami rudapaksa, manifestasinya berupa ptosis wajah bagian atas, paralisis otot mata (termasuk paralisis nervus abduksi), neuralgia trigeminal atau nyeri area temporal akibat iritasi menings (sindroma fissura sfenoidal), bila terdapat juga rudapaksa nervus caranialis II, disebut sindroma apeks orbita atau petrosfenoid. (1,3)
Pembesaran kelenjar limfe leher
Sekitar 40% pasien datang dengan gejala pertama pembesaran kelenjar limfe leher, pada waktu diagnosis ditegakkan, sekitar 60-80% sudah terdapat metastasis kelenjar limfe leher. Lokasi tipikal adalah kelenjar limfe kelompok profunda superior koli, tapi karena kelompok kelenjar limfe tersebut permukaannya tertutup otot sternokleidomastoideus dan benjolannya tidak nyeri maka sulit diketahui lebih awal.(3)
Gejala metastasis jauh
Lokasi metastasis paling sering yaitu tulang, paru-patu, dan hepar. Metastasis tulang yang paling sering yaitu ke pelvis, vertebra, iga dan keempat ekstremitas. Metastasis hati, paru dapat sangat tersembunyi, kadang hanya ditemukan ketika dilakukan tinda lanjut rutin dengan rontgen toraks, pemeriksaan hati dengan CT atau USG. (3)
Gambaran Radiolgi
Conventional X-Ray
Pemeriksaan radiologi konvisional foto tengkorak potongan antero- posterior dan lateral, dan posisi waters tampak jaringan lunak di daerah nasofaring. Pada foto dasar tengkorak ditemukan destruksi atau erosi tulang daerah fossa serebri media.(1)
Gambar 2 x-ray convensional nasofaring normal (dikutip dari kepustakaan 5)
Gambar 3 foto konvensional memperlihatkan karsinoma nasofaring sel skuamosa dengan tumor besar (panah) dari dinding posterior nasofaring menginfiltrasi daerah ostium sinus sphenoidalis. Sinus spenoidalis diisi sejumlah kecil barium. (dikutip dari kepustakaan 6).
CT-Scan
CT-scan merupakan modalitas yang paling umum digunakan untuk diagnosis KNF di daerah-daerah insiden tertinggi terjadinya KNF dimana akses untuk pencitraan dengan MRI terbatas. CT-scan adalah salah satu jenis pencitraan dengan menggunakan sinar x yang menghasilkan gambar penampang tubuh berupa irisan-irisan tipis. CT-scan dapat memberikan informasi tentang ukuran, bentuk, dan posisi dari sebuah tumor nasofaring dan dapat membantu menemukan pembesaran kelenjar getah bening. (7,8)
Dibandingkan dengan MRI, Computerized tomography (CT)-scan lebih unggul dalam memperlihatkan perluasan karsinoma ke daerah tulang di sekitarnya misalnya dasar terngkorak. Selain itu CT-Scan juga lebih efektif dalam menilai adanya pembesaran dan metastasis ke kelenjar limfe.(8,9)
Gambar 4. CT-Scan tanpa kontras potongan coronal memperlihatkan penebalan dinding parafaring kanan.(dikutip dari kepustakaan 9)
Karsinoma nasofaring dengan perluasan ke fossa pterigopalatin
:
Gambar 5. CT Scan potongan aksial menunjukkan tumor mengikis dan melebarkan fossa pterigopalatin kanan (panah tebal); dibandingkan dengan sisi kontralateral normal (panah tipis). (dikutip dari kepustakaan 10)
Karsinoma Nasofaring dengan perluasan ke orofaring
Gambar 6 . CT-Scan potongan aksial dengan kontras memperlihatkan perluasan ke dinding faring kanan(panah putih). (dikutip dari kepustakaan 10)
MRI
Seperti halnya CT scan, MRI memperlihatkan perluasan karsinoma ke tempat-tempat yang mengandung jaringan lunak di kepala dan leher. Tetapi, MRI menggunakan gelombang radio dan magnet yang kuat, bukan sinar X. Energi dari gelombang radio diserap dan kemudian dilepaskan dalam sebuah pola yang dibentuk oleh jenis jaringan tubuh manusia dan penyakit tertentu. Sebuah komputer kemudian menerjemahkan pola yang dibentuk sebagai gambaran jaringan tubuh. Sebuah bahan kontras disebut gadolinium sering disuntikkan ke pembuluh darah sebelum pemeriksaan untuk melihat gambaran yang lebih baik dan lebih jelas.(7,8)
MRI dan CT-scan dapat digunakan untuk menentukan invasi karsinoma ke struktur dekat nasofaring. MRI sedikit lebih baik daripada CT scan dalam menilai jaringan lunak dalam hidung dan tenggorokan, akan tetapi MRI tidak sebaik CT-Scan untuk melihat tulang-tulang di dasar tengkorak yang merupakan lokasi umum bagi tumbuhnya karsinoma nasofaring.(7,8,9)
Gambaran MRI Normal Nasofaring
Gambar 7. MRI potongan aksial kiri menunjukkan pembukaan tuba Eustachius (panah) dan meninggalkan fossa Rosenmüller (panah). (dikutip dari kepustakaan 10)
Krsinoma Nasofaring tahap awal
Gambar 8. MRI potongan aksial dengan kontras menunjukkan peningkatan tumor di fosa kanan dari Rosenmüller (panah berhadapan). (dikutip dari kepustakaan 10)
Karsinoma Nasofaring dengan perluasan parafaring
Gambar 9. MRI potongan aksial T1WI menunjukkan tumor meluas ke ruang parafaring kanan (panah). (dikutip dari kepustakaan 10)
Karsinoma nasofaring dengan penyebaran ke tuba eustachius
Gambar 10. MRI potongan aksial T1WI menunjukkan intensitas sinyal antara tumor di tuba estachius (panah putih) dan tumor menggerogoti clivus (panah hitam). (dikutip dari kepustakaan 10)
Gambaran Patologi Anatomi
Rongga nasofaring diselaputi selapis mukosa epitel tipis, terutama berupa epitel skuamosa, epitel torak bersilia selapis semu dan epitel transisional. Di dalam mukosa lamina propria sering terdapat sebukan limfosit, di submukosa terdapat kelenjar serosa dan musinosa. (3)
Karsinoma sel skuamosa merupakan 90% dari keganasan kepala dan leher termasuk karsinoma nasofaring. Karsinoma sel skuamosa timbul sebagai lesi ulseratif dengan ujung yang nekrotik, biasanya dikelilingi oleh reaksi radang. Jika tumor tetap sebagai lesi ulseratif, seringkali dikelilingi oleh daerah leukoplakia jenis pra-maligna. Pada awalnya tumor menyebar sepanjang permukaan mukosa, akhirnya meluas ke dalam jaringan lunak di bawahnya. Secara patologi tumor-tumor ini digolongkan berdasarkan gambaran histologi yang dihubungkan dengan perjalanan klinis. Secara sederhana, semua klasifikasi berkisar dari diferensiasi baik (tingkat keganasan rendah) sampai diferensiasi buruk (tingkat keganasan tinggi). Tumor-tumor yang diferensiasi kurang baik cenderung memberikan respon yang baik terhadap terapi radiasi walaupun prognosis jangka panjang lebih buruk daripada yang jenis diferensiasi baik.(3,11,12)
PENGGOLONGAN STADIUM
T1 : Tumor terbatas di rongga nasofaring
T2 : Tumor menginfiltrasi cavum nasi, orofaring atau di celah parafaring di anterior dari garis SO (garis SO adalah garis penghubung prosesus stiloideus dan margo posterior garis tengah foramen magnum os occipital; garis batas region servikal superior dan inferior adalah margo inferior kartilago krikoidea).
T3 : Tumor di celah parafaring di posterior garis SO atau mengenai basis cranii, fossa pterygopalatum atau terdapat rudapaksa tunggal nervus cranialis kelompok anterior atau posterior.
T4 : Nervus cranialis kelompok anterior dan posterior terkena serentak atau tumor mengenai sinus paranasalis, sinus spongiosus, orbita dan fossa infra temporal.
N0 : Belum teraba pembesaran kelenjar limfe
N1 : Kelenjar limfe koli superior berdiameter < 4 cm,mobile
N2 : Kelenjar limfe koli inferior membesar atau berdiameter 4-7 cm
N3 : Kelenjar limfe supraklavikular membesar atau berdiameter > 7 cm.
M0 : Tidak ada metastasis jauh
M1 : Ada metastasis jauh
Penggolongan Stadium Klinis :
Stadium I : T1N0M0
Stadium II : T2N0-1M0, T0-2N1M0
Stadium III : T3N0-2M0, T0-3N2M0
Stadium IVa : T4N0-3M0, T0-4N3M0
Stadium IVb : T apapun, N apapun, M1(3,13,14)
DIAGNOSIS BANDING
Kelainan hiperplastik nasofaring
Dalam keadaan normal korpus adenoid di atap nasofaring umumnya pada usia sebelum 30 tahun sudah megalami atrofi. Tapi pada sebagian orang dalam proses atrofi itu terjadi infeksi serius yang menimbulkan nodul-nodul gelombang asimetri di tempat itu, bila terjadi ulserasi dan perdarahan, maka perlu biopsi untuk membedakannya.(3)
TB nasofaring
Umumnya pada usia muda, dapat timbul erosi, ulserasi dangkal atau benjolan granulomatoid, eksudat permukaan banyak dan kotor, bahkan mengenai seluruh nasofaring. Khususnya perlu ditegaskan apakah terdapat TB dan karsinoma bersama-sama atau apakah terjadi reaksi tuberkuloid akibat karsinoma nasofaring.(3)
Granuloma nekrotik nasofaring
Lesi utama di cavum nasi, zona garis median palatum, terjadi nekrosis lokal, terdapat benjolan jaringan granulasi bahkan menimbulkan perforasi septum nasi dan palatum. Penyakit ini memiliki bau khas, juga terdapat panas tinggi, hasil patologi sering kali hanya terdapat reaksi radang kronis.(3)
Angiofibroma nasofaring
Sering ditemukan pada usia muda, pria jauh lebih banyak dari wanita. Dengan nasofaringoskop tampak permukaan tumor licin, warna mukosa menyerupai jaringan normal, kadang tampak vasodilatasi permukaannya, konsistensi kenyal padat. Bila secara klinis dicurigai penyakit ini, awas jangan mudah melakukan biopsi karena mudah terjadi perdarahan massif..(3)
Limfadenitis koli
Sering ditemukan umumnya di rahang bawah (timbul akibat penyakit region faring atau gigi). Tapi bila pada pasien di atas usia setengah baya terdapat limfadenopati agak keras di kelompok superior koli profunda atau untaian nervi aksesorius, harus cepat menyingkirkan kemungkinan metastasis tumor. .(3)
TB kelenjar limfe leher
Lebih banyak pada pemuda dan remaja. Konsistensi agak keras, dapat melekat dengan jaringan sekitarnya membentuk massa, kadang dapat nyeri tekan atau undulasi, pungsi aspirasi jarum menemukan materi mirip keju. .(3)
Limfoma maligna
Sering pada pemuda dan remaja, pembesaran kelenjar limfe leher dapat mengenai banyak lokasi, secara bersamaan dapat terjadi pembesaran kelenjar limfe aksilla,inguinal, mediastinum, dan lain-lain. Konsistensi tumor agak lembek, mobil. .(3)
Karsinoma lain yang metastasis ke kelenjar limfe leher
Karsinoma di telinga, hidung, faring laring dan cavum oris sering bermetastasis ke kelenjar limfe leher, lokasinya kebanyakan pada kelenjar limfe superior, media profunda koli dan untaian nervi asesorius. Bila di region supraklavikular terdapat limfadenopati metastasis, pertama harus dipikirkan karsinoma berasal dari rongga toraks, abdomen dan pelvis. .(3)
PENGOBATAN
Ada empat jenis pengobatan yang lazim dipakai dan berlaku bagi karsinoma nasofaring yaitu:
Radioterapi
Sampai saat ini radioterapi masih memegang peranan penting dalam penatalaksanaan karsinoma nasofaring. Penatalaksanaan pertama untuk karsinoma nasofaring adalah radioterapi dengan atau tanpa kemoterapi.(3,4)
Radioterapi adalah metode pengobatan penyakit-penyakit maligna dengan menggunakan sinar peng-ion, bertujuan untuk mematikan sel-sel tumor sebanyak mungkin dan memelihara jaringan sehat di sekitar tumor agar tidak menderita kerusakan terlalu berat. Karsinoma nasofaring bersifat radioresponsif sehingga radioterapi tetap merupakan terapi terpenting. (4)
a. Persiapan / perencanaan sebelum radioterapi
Sebelum diberi terapi radiasi, dibuat penentuan stadium klinik, diagnosis histopatologik, sekaligus ditentukan tujuan radiasi, kuratif atau paliatif. Penderita juga dipersiapkan secara mental dan fisik. Pada penderita, bila perlu juga keluarganya diberikan penerangan mengenai perlunya tindakan ini, tujuan pengobatan, efek samping yang mungkin timbul selama periode pengobatan. Pemeriksaan fisik dan laboratorium sebelum radiasi dimulai adalah mutlak. Penderita dengan keadaan umum yang buruk, gizi kurang atau demam tidak diperbolehkan untuk radiasi, kecuali pada keadaan yang mengancam hidup penderita, seperti obstruksi jalan makanan, perdarahan yang masif dari tumor, radiasi tetap dimulai sambil memperbaiki keadaan umum penderita. Sebagai tolak ukur, kadar Hb tidak boleh kurang dari 10 gr%, jumlah lekosit tidak boleh kurang dari 3000 per mm3 dan trombosit 100.000 per uL. (4)
b. Penentuan batas-batas lapangan radiasi
Tindakan ini merupakan salah satu langkah yang terpenting untuk menjamin berhasilnya suatu radioterapi. Lapangan penyinaran meliputi daerah tumor primer dan sekitarnya / potensi penjalaran perkontinuitatum serta kelenjar-kelenjar getah bening regional. (4)
Untuk tumor stadium I dan II, daerah-daerah dibawah ini harus disinari :
Seluruh nasofaring
Seluruh sfenoid dan basis oksiput
Sinus kavernosus
Basis kranii, minimal luasnya 7 cm2 meliputi foramen ovale, kanalis karotikus dan foramen jugularis lateral
Setengah belakang kavum nasi
Sinus etmoid posterior
1/3 posterior orbita
1/3 posterior sinus maksila
Fossa pterygoidea
Dinding lateral dan posterior faring setinggi fossa midtonsilar
Kelenjar retrofaringeal
Kelenjar servikalis bilateral termasuk jugular posterior, spinal aksesori dan
supraklavikular. (4)
Apabila ada perluasan ke kavum nasi atau orofaring ( T3 ) seluruh kavum nasi dan orofaring harus dimasukkan dalam lapangan radiasi. Apabila perluasan melalui dasar
tengkorak sudah mencapai rongga kranial, batas atas dari lapangan radiasi terletak di atas fossa pituitary. Apabila penyebaran tumor sampai pada sinus etmoid dan maksila atau orbita, seluruh sinus atau orbita harus disinari. Kelenjar limfe sub mental dan oksipital secara rutin tidak termasuk, kecuali apabila ditemukan limfadenopati servikal yang masif atau apabila ada metastase ke kelenjar sub maksila. (4)
Secara garis besar, batas-batas lapangan penyinaran adalah :
Batas atas : meliputi basis kranii, sella tursika masuk dalam lapangan radiasi.
Batas depan : terletak dibelakang bola mata dan choanae
Batas belakang : tepat dibelakang meatus akustikus eksterna, kecuali bila terdapat pembesaran kelenjar maka batas belakang harus terletak 1 cm di belakang kelenjar yang teraba.
Batas bawah : terletak pada tepi atas kartilago tiroidea, batas ini berubah bila didapatkan pembesaran kelenjar leher, yaitu 1 cm lebih rendah dari kelenjar yang teraba. Lapangan ini mendapat radiasi dari kiri dan kanan penderita. Pada penderita dengan kelenjar leher yang sangat besar sehingga metode radiasi di atas tidak dapat dilakukan, maka radiasi diberikan dengan lapangan depan dan belakang. (4)
Batas atas mencakup seluruh basis kranii. Batas bawah adalah tepi bawah klavikula, batas kiri dan kanan adalah 2/3 distal klavikula atau mengikuti besarnya kelenjar. Kelenjar supra klavikula serta leher bagian bawah mendapat radiasi dari lapangan depan, batas atas lapangan radiasi ini berimpit dengan batas bawah lapangan radiasi untuk tumor primer. (4)
Gambar 11. Batas-batas lapangan radiasi karsinoma nasofaring. (dikutip dari kepustakaan 4)
Gambar 12. Kelenjar supraclavicular serta leher bagian bawah mendapat radiasi. Radiasi diberikan dari arah anterior penderita. (dikutip dari kepustakaan 4)
Kemoterapi
Kemoterapi sebagai terapi tambahan pada karsinoma nasofaring ternyata dapat meningkatkan hasil terapi. Terutama diberikan pada stadium lanjut atau pada keadaan kambuh.(4)
Kemoterapi meliputi kemoterapi neoadjuvan, kemoterapi adjuvant dan kemoterapi konkomitan. Formula kemoterapi yang sering dipakai adalah : PF (DDP+ 5FU), karboplatin + 5FU, paklitaksel + DDP, paklitaksel + DDP +5FU dan DDP+ gemsitabin, dan lain-lain.(3)
DDP : 80-100 mg/m2 IV drip hari pertama (mulai sehari sebelum kemoterapi dilakukan hidrasi 3 hari).
5FU : 800-1000 mg/m2/d IV drip, hari pertama sampai hari kelima lakukan infus kontinu intravena.(3)
Ulangi setiap 21 hari atau :
Karboplatin : 300mg/m2 atau AUC = 6 IV drip, hari pertama
5FU : 800-1000 mg/m2/d IV drip, hari pertama sampai hari kelima infus intravena kontinu.
Ulangi setiap 21 hari(3)
Operasi
Dalam kondisi berikut ini dapat dipertimbangkan tindakan operasi :
Residif lokal nasofaring pasca radioterapi, lesi relatif terlokalisasi
3 bulan pasca radioterapi kuratif terdapat residif lesi primer nasofaring
Pasca radioterapi kuratif terdapat residif atau rekurensi kelenjar limfe leher.
Karsinoma nasofaring dengan diferensiasi agak tinggi seperti karsinoma sel skuamosa grade I,II, adenokarsinoma dan lain-lain.
Komplikasi radiasi (parasinusitis radiasi,ulkus radiasi, dll).(3)
Tindakan operasi pada penderita karsinoma nasofaring berupa diseksi leher radikal dan nasofaringektomi. Diseksi leher dilakukan jika masih ada sisa kelenjar pasca radiasi atau adanya kekambuhan kelenjar dengan syarat bahwa tumor primer sudah dinyatakan bersih yang dibuktikan dengan pemeriksaan radiologik dan serologi. Nasofaringektomi merupakan suatu operasi paliatif yang dilakukan pada kasus-kasus yang kambuh atau adanya residu pada nasofaring yang tidak berhasil diterapi dengan cara lain.(4)
Imunoterapi
Dengan diketahuinya kemungkinan penyebab dari karsinoma nasofaring adalah virus Epstein-Barr, maka pada penderita karsinoma nasofaring dapat diberikan imunoterapi .(4)
PROGNOSA
Kelangsungan Hidup
Hasil pengobatan yang dinyatakan dalam angka respons terhadap penyinaran sangat tergantung pada stadium tumor. Makin lanjut stadium tumor, makin berkurang responsnya. Untuk stadium I dan II, diperoleh respons komplit 80% -100% dengan terapi radiasi. Sedangkan stadium III dan IV, ditemukan angka kegagalan respons lokal dan metastasis jauh yang tinggi, yaitu 50% - 80%. Angka ketahanan hidup penderita karsinoma nasofaring tergantung beberapa faktor, diantaranya yang terpenting adalah stadium penyakit. Qin dkk, melaporkan angka harapan hidup rata-rata 5 tahun dari 1379 penderita yang diberikan terapi radiasi adalah 86%, 59%, 49% dan 29% pada stadium I, II, III dan IV. (3)
Semakin cepat dilakukan terapi, maka angka harapan hidup pasien akan semakin meningkat. Karena gejala yang tidak khas pada stadium awal, pasien lebih banyak yang datang pada stadium lanjut sehingga pengobatan juga lebih kompleks.(11)
Kelangsungan Organ
Pada tumor-tumor nasofaring yang terapinya berhasil dengan terapi radiasi dan tidak timbul kekambuhan, maka nasofaring masih dapat dipertahankan. Akan tetapi pada tumor yang yang residif dan rekuren atau tumor-tumor dengan indikasi operasi, maka nasofarng tidak dapat dipertahankan karena operasi yang dilakukan adalah nasofaringektomi.(15)
foto ct-scan dan MRI nya gak bisa terlihat di blog, mohon share foto ct-scan dan MRI nya ya,, terima kasih...
BalasHapus